Thursday, 5 November 2015

MAKALAH PERKEMBANGAN SASTRA LISAN DI INDONESIA


Tugas makalah
“PERKEMBANGAN SASTRA LISAN DI INDONESIA”



OLEH :
KELOMPOK II

ISBUL ANSARI                     N1A414003 
DESTARINA                          N1A414034
SASWITA WIKAYANI         N1A414044
SARINA                                  N1A414023
EVI SUHARNI                       N1A414045
APRIANTI                             N1A414067
TAUFIK KURAHMAN         N1A414034
RISDA                                    N1A4140022
MIGEL                                   N1A414011
SRI WAHYUNI K                  N1A414023


FAKULTAS ILMU BUDAYA
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2015



KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-nya sehingga kami dapat membuat makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Dalam makalah ini kami membahas mengenai “Perkembangan Sastra Lisan di Indonesia”. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas yang telah diberikan oleh dosen pengampuh mata kuliah Sastra Lisan, dimana dalam pembuatan makalah ini terdapat banyak bantuan dari berbagai pihak untuk membantu menyelesaikan tantangan dan hambatan selama mengerjakan makalah ini. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. 

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada pembuatan makalah ini. Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat membangun kami. Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan masyarakat pada umumnya. 




Kendari, 1 November 2015


Penulis 







  


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang

Sastra lisan (Nisya, http://hairun-nisya.blogspot.com) adalah karya sastra yang beredar di masyarakat atau diwariskan secara turun-memurun dalam bentuk lisan. Proses pewarisan secara turun-temurun itulah yang disebut tradisi. berdasarkan dari pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa sastra lisan adalah suatu karya sastra yang telah lama ada dan dipahami oleh sekelompok masyarakat dan merupakan suatu kebudayaan yang menjadi ciri khas serta disampaikan secara lisan dari generasi ke generasi dan mentradisi.

Sementara lisan dan tradisi lisan adalah dua kata yang mempunyai keterkaitan dan hubungan dari segi morfologi, kata‘lisan berarti berkenaan dengan kata-kata. Sementara  kata  tradisi, merupakan   sebua kata   yang   sanga akrab terdengar  di segala bidang. Tradisi  menurut etimologi  adalah  kata yang  mengacu  pada  adat  atau  kebiasaan  yang  turun  temurun, Tradisi    juga dapat dipahami sebagai sinonim    dari    kata    budaya”    yang    keduanya merupaka hasil   karya Tradisi   adala hasil   kary masyarakat begitupun dengan budaya. Keduanya saling mempengaruhi.   Tradisi lisan bukanlah sebuah konsep sejarah, tetapi di dalam tradisi lisan ada catatan sejarah.   Itulah   polemik yang menjadi perhatian kita saat ini, bahwa keberadaan atau eksistensi budaya sebuah suku teridentifikasi lewat tradisi yang dimilikinya.

Tradisi lisan dan sastra lisan adalah wujud interpretasi pengalaman masa lalu dan investasi masa depan sebuah bangsa yang besar.  Ada banyak provinsi di negara ini dan salah satunya adalah provinsi Sulawesi Tenggara. Di Sulawesi Tenggara kini sudah ada tiga  jenis tradisi  lisayang  tercatat  sebagai  warisan  nasional,  yakni  Kabhanti Wakatobi TariaLariangi,   dan   Kantola Dirje Kebudayaa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI menetapkan Kabhanti dan Tari Lariangi Wakatobi sebaga warisa buday nasional setelamenerim usula dari   Pemerintah Kabupaten Wakatobi, saat ini Kabhanti dan Tari Lariangi tengah diperjuangkan sebagai warisan budaya dunia melalui Unesco di Paris. Selain itu, Di Sulaersi Tenggara juga memiliki beberapa sastra lisan yang perlu penguatan karena sudah mulai terlupakan misalnya Sinden Tolaki yang biasa disebut Sua-Sua, cerita rakyat Oheo, Wa Ndiu-Ndiu, La Ndoke-Ndoke dan La Kolokolopua.

Berangkat dari latar belakang inilah, maka perlu adanya pemahaman yang lebih kepada masyarakat luas tentang tradisi dan sasta lisan itu sendiri, perlu langkah kongkret dari pemerintah untuk memperkaya khazanah pengetahuan masyarakat terhadap pentingnya menjaga tradisi daerah, misalnya mungkin dengan mengadakan sosialiasai ke berbagai daerah tentang bagaimana tradisi dan sastra lisan itu, bagaimana perkembangannya dan lain sebagainya. Agar nantinya kekayaan tambang budaya kita yang berwujud tradisi-tradisi daerah itu tidak diambil oleh orang lain.




  


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Sastra Lisan
Sastra lisan adalah bagian dari tradisi yang berkembang di tengah rakyat jelata yang menggunakan Bahasa sebagai media utama. Sastra lisan ini lebih dulu muncul dan berkmbang dimasyarakat daripada sastra tulis. Dalam kehidupan sehari-hari, jenis sastra ini biasanya dituturkan oleh seorang ibu kepada anknya, seorang tukang cerita kepada pendengarnya, gutu pada muridnya, ataupun antar sesame anggota masyarakat. Untuk menjaga kelangsungan sastra lisan ini, warga masyarakat mewariskannya secara turun temurun dari generasi ke kegenarasi. Hal ini sejalan dengan pengertian sasatra lisan yang dipaparkan pada bagian pendahuluan. Selain itu, sastra lisan sering juga disebut sebagai sastra rakyat, karena muncul dan berkembang di tengah kehidupan rakyat biasa.
Sastra lisan adalah kesusastraan yang mencakup ekspresi kesusastraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturun temurunkan secara lisan (dari muluy ke mulut).Pada dasarnya sastra lisan dalam bahasa indonesia berasal dari bahasa inggris oral literature. Ada pula yang mengatakan berasal dari bahasa belanda orale letterkuade. Kedua pendapat mengenai istilah sastra lisan di atas dapat dibenarkan. Akan tetapi, yang menjadi persoalan adalah istilah itu dalam dirinya sendiri mengandung kontradiksi
Istilah sastra lisan dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Inggris oral literaturs. Ada juga yang menyatakan bahwa istilah itu berasal dari bahasa Belanda orale letterkunde. Kedua pendapat itu dapat dibenarkan, tetapi yang menjadi soal adalah bahwa istilah itu dalam diirinya sendiri sebenarnya mengandung kontrakdiksi (pinnegan, 1977: 167), sebab kata literature (sastra) itu merujuk pada kata literae, yang bermakna letters.Yang dinamakan sastra lisan atau kesusastraan lisan adalah kesusatraan yang mencakup ekspresi kesusastraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturun menurunkan secar lisan (dari mulut kemulut).
Di Negara-negara Asia dan Afrika sastra lisan atau kesusastraan ini sangat berperan penting dalam masyarakat, sebab masyarakat  masih banyak yang buta huruf (umumnya para petani pendesaan). Dengan begitu, apa  yang dinamakan dalam masyarakat sastra tulis trasdisional (yang ada di istana-istana , pusat-pusat agama,  dan lain-lain). Serta sastra modern (buku-buku cetakan yang banyak dijumpai di kota) hanya merupakan sebagian kecil dari kehidupnan satra.
Sastra lisan (Udin, 1996:1) adalah seperangkat pertunjukan penuturan lisan yang melibatkan penutur dan kalayak (audien) menurut tata cara dan tradisi pertunjukannya. Sastra lisan (Nisya, http://hairun-nisya.blogspot.com) adalah karya sastra yang beredar di masyarakat atau diwariskan secara turun-memurun dalam bentuk lisan. Berdasarkan dua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa, sastra lisan merupakan bentuk karya sastra berupa penuturan yang lahir dan mentradisi di suatu masyarakat. Contoh: Tembang Macapat, Legenda Reog Ponorogo, Dongeng Sangkuriang.
Antara sastra lisan dengan sastra tulis memiliki hubungan timbal balik selayaknya sisi mata uang yang saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan. Sastra lisan merupakan cikal bakal adanya sastra tulis. Sebagaimana menurut A. Theew (1983), bahwa dari segi sejarah maupun tipologi adalah tidak baik jika dilakukan pemisahan antara sastra lisan dan sastra tulis. Keduanya harus dipandang sebagai kesatuan dan keseluruhan sehingga tidak boleh lebih mengutamakan satu dari pada yang lain. Sebaliknya, dua jenis karya sastra ini seyogyanya saling mendukung dan melengkapi untuk lebih memperkaya khazanah kesusastraan bangsa.
Apa perbedaan sastra lisan dengan sastra tulis? Perbedaan bentuk penyampaian. Sastra lisan berupa penuturan dari mulut ke mulut dan isinya dapat diketahui melalui tuturan. Sedangkan sastra tulis berupa tulisan yang dapat dilihat secara kasat mata bentuk isinya. Perbedaan versi cerita. Sastra lisan memiliki banyak versi cerita sesuai siapa yang menuturkannya, sedangkan sastra tulis hanya memiliki satu versi tunggal. Ketika karya sastra tulis ditunjukkan kepada orang lain akan mengetahui langsung bentuk, format, dan cerita yang sama. Sastra lisan sulit untuk diketahui siapa penutur aslinya atau asal usul pengarang pertamanya, karena berupa tuturan yang sewaktu-waktu pada proses penuturan mudah terjadi pergeseran nama atau mudah dihasut. Sedangkan sastra tulis mudah diketahui siapa penulis atau asal usul pengarang aslinya, karena nama pengarang dapat dibuktikan secara kasat mata pada media yang digunakan.
Bentuk dari sastra lisan sendiri dapat berupa prosa (seperti mite, dongeng, dan legenda), puisi rakyat (seperti syair, gurindam, dan pantun), seni pertunjukan seperti wayang, ungkapan tradisional (seperti pepatah dan peribahasa), nyanyian rakyat dan masih banyak lagi. Perkembangana sastra lisan dalam kesusastraan Indonesia diperngaruhi oleh beberapa budaya lain, seperti budaya Cina, Hindu-Budha, India, dan Arab. Sastra lisan yang dipengaruhi oleh budaya-budaya tersebut dibawa dengan cara perdangangan, perkawinan, dan agama.
Fungsi dari sastra lisan sendiri tidak hanya sekedar untuk kebutuhan seni, melainkan terdapat pula unsur pendidikan yang hendak disampaikan didalamnya, seperti nilai moral dan nilai agama dalam masyarakat. Salah satu contoh sastra lisan yang berkaitan dengan moral adalah Gurindam. Gurindam adalah puisi Melayu Lama sarat dengan pengaruh sastra Hindu. Isi dari gurindam sendir adalah nasihat-nasihat kehidupan. Selain Gurindam, contoh sastra lisan lain yang berkembang dalam masyarakat yang sarat akan nilai adalah nyanyian rakyat.
Secara historis, jumlah karya sastra yang bersifat lisan lebih banyak disbanding dengan sastra tulis. Diantara jenis sastra lisan tersebut adalah pantun, perbahasa,nyanyi panjang, dodoi, koba dan lain-lain


B.     Perkembangan Sastra Lisan Di Indonesia
Jika berbicara tentang perkembangan sastra lisan  di Indonesia maka kita akan berbicara pada masa lalu dan masa sekarang. Pada masa lalu ketika di bawah terang bulan purnama, anak-anak biasanya duduk melingkari api unggun dan membakar ubi kayu yang telah mereka panen di kebun sambil mendongeng. Mendongeng adalah salah satu cara mereka mengisi waktu sebelum menyantap hasil panen.
Dongeng-dongeng yang diceritakan itu tentu bukan karangan anak-anak itu sendiri tetapi meraka dapatkan dengan gratis dari orang lain, entah itu dari orangtua mereka atau orang-orang dewasa yang gemar mendongeng. Jadi, telah terbentuk satu rantai dongeng yang tidak putus hingga generasi mereka. Setelah berdongeng, mereka lanjutkan dengan berteka-teki dengan ciri khas masing-masing anak.
Kemudian pada masa sekarang perubahan telah terjadi seiring dengan berjalannya waktu. Budaya lisan akhirnya dihalangi oleh berbagai hal, misalnya televisi telah mengisi panggung cerita dan tampaknya diyakini sanggup menghilangkan dahaga ingin tahu masyakat khususnya anak-anak. Para pelaku sastra lisan sepertinya telah kehilangan pengagum dan kehabisan cara untuk menarik minat pendengar mereka.
Kenyataan ini membuat pelaku sastra lisan kehilangan selera untuk memelihara sastra lisan dan tradisi lisan yang ia ketahui. Salah satu contoh sastra lisan yang sudah mulai di lupakan adalah pantun. Dalam menggunakan bahasa daerah, kita mungkin sudah jarang menghiasi pembicaraan kita dengan pantun, yang struktur dan maknanya makin sulit dimengerti.Kemampuan berpantun daerah bila tidak diasah akan hilang dengan sendirinya.
Perkembangan sastra di Indonesia maupun di dunia dimulai dari sastra lisan karena manusia mengenal tulisan setelah dia mengenal lisan. Akan tetapi, keberadaan sastra lisan semakin terpinggirkan karena perkembangan tradisi tulis yang sangat pesat. Padahal ada beberapa hal istimewa dari sastra lisan, mulai dari nilai-nilai yang terkandung hingga pengaruhnya terhadap kesusastraan Indonesia.
Jadi segala kebudayaan yang dituturkan secara lisan dan diwariskan dengan metode lisan termasuk dalam kajian sastra lisan, yang meliputi cerita rakyat, teka-teki rakyat, drama kerakyatan, syair, gurindam, dan lain sebagainya. Di Indonesia, pengumpulan bahan cerita rakyat, puisi rakyat, dan teka-teki rakyat dilakukan pada abad ke-19 (1850-1900) oleh para penyiar agama nasrani dari Eropa. Awal mulanya pada abad ke-17 mereka tidak punya kepentingan untuk meneliti kebudayaan (sastra lisan di dalamnya) di Indonesia.
Akan tetapi pada abad ke-19 Nederlansch Bijbelgenootschap atau Lembaga Alkitab Belanda menugaskan para penyiar agama nasrani untuk menerjemahkan kitab injil dalam berbagai bahasa Nusantara dan meneliti bahasa dan kesusastraan suku bangsa di Nusantara. Selanjutnya pada awal abad 20, beberapa ahli antropologi dan ahli folklor seperti W. Schmidt, W.H Rasser, Jan de Vies, dan lain-lain, yang mengolah lebih lanjut bahan-bahan yang telah dikumpulkan oleh beberapa peneliti sebelumnya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa awal mula perkembangan sastra lisan di Indonesia dimulai dari kegiatan penerjemah Kitab Injil yang sejak awal abad ke-19 mulai diutus ke Hindia Belanda oleh Lembaga Alkitab Belanda, dengan tugas utama untuk menerjemah Kitab Injil dalam berbagai bahasa Nusantara, tetapi mereka selalu ditugaskan pula sebagai persiapan bagi tugas utama, untuk secara ilmiah meneliti bahasa dan kesusastraan suku bangsa tempat bekerja.
Beberapa tokoh peneliti sastra rakyat yang patut dihormati sebgai peletak dasar studi sastra rakyat di Indonesia yaitu: Herman Neubronner van der Tuuk, N. Andriani, dan P.Middelkoop. Kebanyakan dari mereka besar jasanya dari segi pengumpulan dan penerjemahan bahan-bahan sastra lisan. Akan tetapi umumnya mereka tidak banyak berminat untuk aspek-aspek teori sastra yang berkaitan dengan sastra rakyat. Mereka lebih tertarik dari segi ilmu atau deskripsi bahasa.
Kemudian bagaimana perkembangan sastra lisan di luar Indonesia? Perkembangan sastra lisan di luar Indonesia seperti Eropa pada saat itu mulai timbul dalam abad ke-18, dalam rangka perkembangan kebudayaan yang lebih luas, yang sering disebut Romantik. Dalam abad ini muncul reaksi terhadap klasisme yang menyanjung-nyanjung zaman klasik sebagai puncak kebudayaan manusia, yang hanya tinggal diteladani dan ditiru. Juga berkat perkenalan dengan dunia lain, manusia yang disebut primitif ditemukan oleh manusia Eropa Barat. Orang yang disebut primitif dimuliakan karena nyanyian-nyanyian dan dalam pemakaian bahasa spontan , belum dijinakkan oleh rasio yang mengekang keaslian dan kemurnian emosi manusia. Tidak kebetulanlah di masa itu pada satu pihak para pecinta sastra mulai menemukan, mengumpulkan dan meneliti sastra lisan yang dianggap primitif. Dan dipiahak lain penyair Barat sendiri mulai menciptakan karya yang meneladani sastra lisan yang primitif itu.
Dalam hubungan ini perlu disebut nama filsuf Jerman  yang mencoba meletakkan dasar ilmiah  untuk pendekatan baru terhadap sastra, Johann Gottfried Herder (1744-1803) dengan tulisan mengenai asal-usul bahasa dan tulisan mengenai Gagasan mengenai Filsafat  Sejarah Umat Manusia. Bagi Herder asal-usul bahasa dan puisi identik: manusia primitif, purba, mulai belajar berbahasa lewat kesan-kesan yang diterima dari luar dirinya, dalam bentuk bunyi-bunyi yang secara spontan membayangkan impresi yang diterimanya itu. Bahasa pada awal mulanya hanya puisi alamiah saja, dan demikianlah puisi adalah cara berbahasa yang asli.  Herder juag mengembangkan teori mengenai rakyat sebagai dasar kebudayaan yang sungguh-sungguh: berdasarkan bahasa yang sama setiap masyarakat bahasa, mempunyai semacam semangat, jenius bersama, dan semangat bangsa yang sekaligus menjadi rakyat itulah pula yang terungkap dalam sastra primitif, pra-tulis.

Berdasarkan gagasan-gagasan seperti yang dipaparkan oleh Herder, tidak lama kemudian di Jerman muncul Jakob dan Wilhelm Grimm, dua kakak-beradik yang dalam awal abad ke-19 mulai menerbitkan dongeng-dongeng rakyat Jerman yang mereka kumpulkan dari mulut rakyat yang berjudul Kinder-und Hausmarchen (1812) dan dengan buku ini mereka melopori cabang ilmu yang adakalanya disebut ilmu sastraoral atau rakyat, adakalanya pula ilmu folklor, sebab penelitian semacam ini biasanya tidak terbatas pada cerita saja, tetapi juga  segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan rakyat pedesaaan. Kemudian dikembangkan lagi ilmu bandingan sastra khusus untuk sastra rakyat. Demikianlah berangsur-angsur berkembang ilmu bandingan sastra tersebut.



DAFTAR PUSTAKA

http://www.bimbie.com/sastra-lisan.htm. Diakses pada tanggal 01 November 2015

No comments:

Post a Comment

CONTOH LAPORAN PERJALANAN KE GALERI LUKISAN

LAPORAN PERJALANAN KE MASJIDI GALERI LUKISAN Laporan: Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Apres...