“PERKEMBANGAN
SASTRA LISAN DI INDONESIA”
OLEH
:
KELOMPOK
II
ISBUL ANSARI N1A414003
DESTARINA N1A414034
SASWITA WIKAYANI N1A414044
SARINA N1A414023
EVI SUHARNI N1A414045
APRIANTI N1A414067
TAUFIK KURAHMAN N1A414034
RISDA N1A4140022
MIGEL N1A414011
SRI WAHYUNI K N1A414023
FAKULTAS ILMU BUDAYA
PROGRAM
STUDI SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2015
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kami
panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan Rahmat dan
Karunia-nya sehingga kami dapat membuat makalah ini dengan baik dan tepat pada
waktunya. Dalam makalah ini kami membahas mengenai “Perkembangan Sastra Lisan
di Indonesia”. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas yang telah diberikan
oleh dosen pengampuh mata kuliah Sastra Lisan, dimana dalam pembuatan makalah
ini terdapat banyak bantuan dari berbagai pihak untuk membantu menyelesaikan
tantangan dan hambatan selama mengerjakan makalah ini. Oleh karena itu, kami
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa
masih banyak kekurangan yang mendasar pada pembuatan makalah ini. Oleh karena
itu kami mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat
membangun kami. Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca
dan masyarakat pada umumnya.
Kendari, 1 November 2015
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Sastra
lisan (Nisya, http://hairun-nisya.blogspot.com) adalah karya
sastra yang beredar di masyarakat atau diwariskan secara turun-memurun dalam
bentuk lisan. Proses pewarisan secara turun-temurun itulah yang disebut
tradisi. berdasarkan dari pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa sastra
lisan adalah suatu karya sastra yang telah lama ada dan dipahami oleh
sekelompok masyarakat dan merupakan suatu kebudayaan yang menjadi ciri khas
serta disampaikan secara lisan dari generasi ke generasi dan mentradisi.
Sementara lisan dan tradisi lisan adalah dua
kata yang mempunyai keterkaitan dan hubungan dari segi morfologi, kata‘lisan’ berarti berkenaan dengan kata-kata. Sementara
kata tradisi, merupakan sebuah kata yang sangat akrab terdengar
di
segala bidang. Tradisi
menurut etimologi
adalah kata
yang mengacu
pada adat
atau kebiasaan yang turun temurun, Tradisi juga dapat dipahami sebagai sinonim
dari
kata
“budaya” yang
keduanya
merupakan hasil karya. Tradisi
adalah hasil
karya masyarakat, begitupun dengan budaya. Keduanya
saling mempengaruhi. Tradisi lisan bukanlah sebuah konsep sejarah, tetapi di dalam tradisi lisan ada catatan sejarah. Itulah polemik yang menjadi perhatian kita saat ini, bahwa
keberadaan atau eksistensi budaya sebuah suku teridentifikasi lewat tradisi yang dimilikinya.
Tradisi lisan dan
sastra lisan adalah wujud interpretasi pengalaman masa lalu dan investasi
masa depan sebuah bangsa yang besar. Ada banyak provinsi di negara ini
dan
salah satunya adalah provinsi Sulawesi Tenggara. Di Sulawesi Tenggara kini sudah ada tiga
jenis
tradisi
lisan yang tercatat
sebagai warisan nasional,
yakni
Kabhanti Wakatobi, Tarian Lariangi, dan Kantola. Dirjen Kebudayaan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan RI
menetapkan Kabhanti dan Tari Lariangi Wakatobi sebagai warisan budaya nasional, setelah menerima usulan dari Pemerintah Kabupaten Wakatobi, saat ini Kabhanti dan Tari Lariangi tengah diperjuangkan sebagai warisan budaya dunia melalui Unesco di Paris. Selain itu, Di Sulaersi Tenggara juga memiliki beberapa sastra
lisan yang perlu penguatan karena sudah mulai terlupakan misalnya Sinden Tolaki yang biasa
disebut Sua-Sua, cerita rakyat Oheo, Wa Ndiu-Ndiu, La Ndoke-Ndoke dan La
Kolokolopua.
Berangkat dari latar belakang inilah, maka perlu adanya pemahaman
yang lebih kepada masyarakat luas tentang tradisi dan sasta lisan itu sendiri,
perlu langkah kongkret dari pemerintah untuk memperkaya khazanah pengetahuan
masyarakat terhadap pentingnya menjaga tradisi daerah, misalnya mungkin dengan
mengadakan sosialiasai ke berbagai daerah tentang bagaimana tradisi dan sastra lisan
itu, bagaimana perkembangannya dan lain sebagainya. Agar nantinya kekayaan
tambang budaya kita yang berwujud tradisi-tradisi daerah itu tidak diambil oleh
orang lain.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Sastra Lisan
Sastra
lisan adalah bagian dari tradisi yang berkembang di tengah rakyat jelata yang
menggunakan Bahasa sebagai media utama. Sastra lisan ini lebih dulu muncul dan
berkmbang dimasyarakat daripada sastra tulis. Dalam kehidupan sehari-hari,
jenis sastra ini biasanya dituturkan oleh seorang ibu kepada anknya, seorang
tukang cerita kepada pendengarnya, gutu pada muridnya, ataupun antar sesame
anggota masyarakat. Untuk menjaga kelangsungan sastra lisan ini, warga
masyarakat mewariskannya secara turun temurun dari generasi ke kegenarasi. Hal
ini sejalan dengan pengertian sasatra lisan yang dipaparkan pada bagian
pendahuluan. Selain itu, sastra lisan sering juga disebut sebagai sastra
rakyat, karena muncul dan berkembang di tengah kehidupan rakyat biasa.
Sastra
lisan adalah kesusastraan yang mencakup ekspresi kesusastraan warga suatu
kebudayaan yang disebarkan dan diturun temurunkan secara lisan (dari muluy ke
mulut).Pada dasarnya sastra lisan dalam bahasa indonesia berasal dari bahasa
inggris oral literature. Ada pula yang mengatakan berasal dari bahasa belanda
orale letterkuade. Kedua pendapat mengenai istilah sastra lisan di atas dapat
dibenarkan. Akan tetapi, yang menjadi persoalan adalah istilah itu dalam
dirinya sendiri mengandung kontradiksi
Istilah sastra lisan dalam bahasa
Indonesia berasal dari bahasa Inggris oral literaturs. Ada juga yang menyatakan
bahwa istilah itu berasal dari bahasa Belanda orale letterkunde. Kedua pendapat
itu dapat dibenarkan, tetapi yang menjadi soal adalah bahwa istilah itu dalam
diirinya sendiri sebenarnya mengandung kontrakdiksi (pinnegan, 1977: 167),
sebab kata literature (sastra) itu merujuk pada kata literae, yang bermakna
letters.Yang dinamakan sastra lisan atau kesusastraan lisan adalah kesusatraan
yang mencakup ekspresi kesusastraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan dan
diturun menurunkan secar lisan (dari mulut kemulut).
Di Negara-negara Asia dan Afrika
sastra lisan atau kesusastraan ini sangat berperan penting dalam masyarakat,
sebab masyarakat masih banyak yang buta huruf (umumnya para petani
pendesaan). Dengan begitu, apa yang dinamakan dalam masyarakat sastra
tulis trasdisional (yang ada di istana-istana , pusat-pusat agama, dan
lain-lain). Serta sastra modern (buku-buku cetakan yang banyak dijumpai di
kota) hanya merupakan sebagian kecil dari kehidupnan satra.
Sastra lisan (Udin, 1996:1) adalah
seperangkat pertunjukan penuturan lisan yang melibatkan penutur dan kalayak
(audien) menurut tata cara dan tradisi pertunjukannya. Sastra lisan (Nisya, http://hairun-nisya.blogspot.com) adalah karya sastra yang beredar
di masyarakat atau diwariskan secara turun-memurun dalam bentuk lisan.
Berdasarkan dua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa, sastra lisan
merupakan bentuk karya sastra berupa penuturan yang lahir dan mentradisi di suatu
masyarakat. Contoh: Tembang Macapat, Legenda Reog Ponorogo, Dongeng
Sangkuriang.
Antara
sastra lisan dengan sastra tulis memiliki hubungan timbal balik selayaknya sisi
mata uang yang saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan. Sastra lisan
merupakan cikal bakal adanya sastra tulis. Sebagaimana menurut A. Theew (1983),
bahwa dari segi sejarah maupun tipologi adalah tidak baik jika dilakukan
pemisahan antara sastra lisan dan sastra tulis. Keduanya harus dipandang
sebagai kesatuan dan keseluruhan sehingga tidak boleh lebih mengutamakan satu
dari pada yang lain. Sebaliknya, dua jenis karya sastra ini seyogyanya saling
mendukung dan melengkapi untuk lebih memperkaya khazanah kesusastraan bangsa.
Apa perbedaan sastra lisan dengan
sastra tulis? Perbedaan
bentuk penyampaian. Sastra lisan berupa penuturan dari mulut ke mulut dan
isinya dapat diketahui melalui tuturan. Sedangkan sastra tulis berupa tulisan
yang dapat dilihat secara kasat mata bentuk isinya. Perbedaan versi cerita.
Sastra lisan memiliki banyak versi cerita sesuai siapa yang menuturkannya,
sedangkan sastra tulis hanya memiliki satu versi tunggal. Ketika karya sastra
tulis ditunjukkan kepada orang lain akan mengetahui langsung bentuk, format,
dan cerita yang sama. Sastra lisan sulit untuk diketahui siapa penutur aslinya
atau asal usul pengarang pertamanya, karena berupa tuturan yang sewaktu-waktu
pada proses penuturan mudah terjadi pergeseran nama atau mudah dihasut.
Sedangkan sastra tulis mudah diketahui siapa penulis atau asal usul pengarang
aslinya, karena nama pengarang dapat dibuktikan secara kasat mata pada media
yang digunakan.
Bentuk dari sastra
lisan sendiri dapat berupa prosa (seperti mite, dongeng, dan legenda), puisi
rakyat (seperti syair, gurindam, dan pantun), seni pertunjukan seperti wayang,
ungkapan tradisional (seperti pepatah dan peribahasa), nyanyian rakyat dan
masih banyak lagi. Perkembangana sastra lisan dalam kesusastraan Indonesia
diperngaruhi oleh beberapa budaya lain, seperti budaya Cina, Hindu-Budha,
India, dan Arab. Sastra lisan yang dipengaruhi oleh budaya-budaya tersebut
dibawa dengan cara perdangangan, perkawinan, dan agama.
Fungsi dari sastra
lisan sendiri tidak hanya sekedar untuk kebutuhan seni, melainkan terdapat pula
unsur pendidikan yang hendak disampaikan didalamnya, seperti nilai moral dan
nilai agama dalam masyarakat. Salah satu contoh sastra lisan yang berkaitan
dengan moral adalah Gurindam. Gurindam adalah puisi Melayu Lama sarat dengan
pengaruh sastra Hindu. Isi dari gurindam sendir adalah nasihat-nasihat kehidupan.
Selain Gurindam, contoh sastra lisan lain yang berkembang dalam masyarakat yang
sarat akan nilai adalah nyanyian rakyat.
Secara historis,
jumlah karya sastra yang bersifat lisan lebih banyak disbanding dengan sastra
tulis. Diantara jenis sastra lisan tersebut adalah pantun, perbahasa,nyanyi
panjang, dodoi, koba dan lain-lain
B.
Perkembangan Sastra Lisan Di Indonesia
Jika berbicara tentang
perkembangan sastra lisan di Indonesia
maka kita akan berbicara pada masa lalu dan masa sekarang. Pada masa lalu
ketika di bawah terang bulan purnama, anak-anak biasanya duduk melingkari api
unggun dan membakar ubi kayu yang telah mereka panen di kebun sambil mendongeng.
Mendongeng adalah salah satu cara mereka mengisi waktu sebelum menyantap hasil
panen.
Dongeng-dongeng yang
diceritakan itu tentu bukan karangan anak-anak itu sendiri tetapi meraka
dapatkan dengan gratis dari orang lain, entah itu dari orangtua mereka atau
orang-orang dewasa yang gemar mendongeng. Jadi, telah terbentuk satu rantai
dongeng yang tidak putus hingga generasi mereka. Setelah berdongeng, mereka
lanjutkan dengan berteka-teki dengan ciri khas masing-masing anak.
Kemudian pada masa sekarang perubahan telah terjadi seiring dengan
berjalannya waktu. Budaya lisan akhirnya dihalangi oleh berbagai hal, misalnya televisi
telah mengisi panggung cerita dan tampaknya diyakini sanggup menghilangkan
dahaga ingin tahu masyakat khususnya anak-anak. Para pelaku sastra lisan
sepertinya telah kehilangan pengagum dan kehabisan cara untuk menarik minat
pendengar mereka.
Kenyataan ini membuat pelaku sastra lisan
kehilangan selera untuk memelihara sastra lisan dan tradisi lisan yang ia
ketahui. Salah satu contoh sastra lisan yang sudah mulai di lupakan adalah
pantun. Dalam menggunakan bahasa daerah, kita mungkin sudah jarang menghiasi
pembicaraan kita dengan pantun, yang struktur dan maknanya makin sulit
dimengerti.Kemampuan berpantun daerah bila tidak diasah akan hilang dengan
sendirinya.
Perkembangan sastra di Indonesia maupun di
dunia dimulai dari sastra lisan karena manusia mengenal tulisan setelah dia
mengenal lisan. Akan tetapi, keberadaan sastra lisan semakin terpinggirkan
karena perkembangan tradisi tulis yang sangat pesat. Padahal ada beberapa hal
istimewa dari sastra lisan, mulai dari nilai-nilai yang terkandung hingga
pengaruhnya terhadap kesusastraan Indonesia.
Jadi segala kebudayaan yang dituturkan
secara lisan dan diwariskan dengan metode lisan termasuk dalam kajian sastra
lisan, yang meliputi cerita rakyat, teka-teki rakyat, drama kerakyatan, syair,
gurindam, dan lain sebagainya. Di Indonesia, pengumpulan bahan cerita rakyat,
puisi rakyat, dan teka-teki rakyat dilakukan pada abad ke-19 (1850-1900) oleh
para penyiar agama nasrani dari Eropa. Awal mulanya pada abad ke-17 mereka
tidak punya kepentingan untuk meneliti kebudayaan (sastra lisan di dalamnya) di
Indonesia.
Akan tetapi pada abad ke-19 Nederlansch Bijbelgenootschap atau
Lembaga Alkitab Belanda menugaskan para penyiar agama nasrani untuk
menerjemahkan kitab injil dalam berbagai bahasa Nusantara dan meneliti bahasa
dan kesusastraan suku bangsa di Nusantara. Selanjutnya pada awal abad 20,
beberapa ahli antropologi dan ahli folklor seperti W. Schmidt, W.H Rasser, Jan
de Vies, dan lain-lain, yang mengolah lebih lanjut bahan-bahan yang telah
dikumpulkan oleh beberapa peneliti sebelumnya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa awal mula
perkembangan sastra lisan di Indonesia dimulai dari kegiatan penerjemah Kitab
Injil yang sejak awal abad ke-19 mulai diutus ke Hindia Belanda oleh Lembaga
Alkitab Belanda, dengan tugas utama untuk menerjemah Kitab Injil dalam berbagai
bahasa Nusantara, tetapi mereka selalu ditugaskan pula sebagai persiapan bagi
tugas utama, untuk secara ilmiah meneliti bahasa dan kesusastraan suku bangsa
tempat bekerja.
Beberapa tokoh peneliti sastra rakyat yang
patut dihormati sebgai peletak dasar studi sastra rakyat di Indonesia yaitu:
Herman Neubronner van der Tuuk, N. Andriani, dan P.Middelkoop. Kebanyakan dari
mereka besar jasanya dari segi pengumpulan dan penerjemahan bahan-bahan sastra
lisan. Akan tetapi umumnya mereka tidak banyak berminat untuk aspek-aspek teori
sastra yang berkaitan dengan sastra rakyat. Mereka lebih tertarik dari segi
ilmu atau deskripsi bahasa.
Kemudian bagaimana perkembangan sastra
lisan di luar Indonesia? Perkembangan sastra lisan di luar Indonesia seperti
Eropa pada saat itu mulai timbul dalam abad ke-18, dalam rangka perkembangan
kebudayaan yang lebih luas, yang sering disebut Romantik. Dalam abad ini muncul
reaksi terhadap klasisme yang menyanjung-nyanjung zaman klasik sebagai puncak
kebudayaan manusia, yang hanya tinggal diteladani dan ditiru. Juga berkat
perkenalan dengan dunia lain, manusia yang disebut primitif ditemukan oleh
manusia Eropa Barat. Orang yang disebut primitif dimuliakan karena
nyanyian-nyanyian dan dalam pemakaian bahasa spontan , belum dijinakkan oleh
rasio yang mengekang keaslian dan kemurnian emosi manusia. Tidak kebetulanlah
di masa itu pada satu pihak para pecinta sastra mulai menemukan, mengumpulkan
dan meneliti sastra lisan yang dianggap primitif. Dan dipiahak lain penyair
Barat sendiri mulai menciptakan karya yang meneladani sastra lisan yang
primitif itu.
Dalam hubungan ini perlu disebut nama
filsuf Jerman yang mencoba meletakkan dasar ilmiah untuk pendekatan
baru terhadap sastra, Johann Gottfried Herder (1744-1803) dengan tulisan
mengenai asal-usul bahasa dan tulisan mengenai Gagasan mengenai Filsafat
Sejarah Umat Manusia. Bagi Herder asal-usul bahasa dan puisi identik: manusia
primitif, purba, mulai belajar berbahasa lewat kesan-kesan yang diterima dari
luar dirinya, dalam bentuk bunyi-bunyi yang secara spontan membayangkan impresi
yang diterimanya itu. Bahasa pada awal mulanya hanya puisi alamiah saja, dan
demikianlah puisi adalah cara berbahasa yang asli. Herder juag
mengembangkan teori mengenai rakyat sebagai dasar kebudayaan yang
sungguh-sungguh: berdasarkan bahasa yang sama setiap masyarakat bahasa, mempunyai
semacam semangat, jenius bersama, dan semangat bangsa yang sekaligus menjadi
rakyat itulah pula yang terungkap dalam sastra primitif, pra-tulis.
Berdasarkan gagasan-gagasan seperti yang dipaparkan
oleh Herder, tidak lama kemudian di Jerman muncul Jakob dan Wilhelm Grimm, dua
kakak-beradik yang dalam awal abad ke-19 mulai menerbitkan dongeng-dongeng
rakyat Jerman yang mereka kumpulkan dari mulut rakyat yang berjudul Kinder-und
Hausmarchen (1812) dan dengan buku ini mereka melopori cabang ilmu yang adakalanya
disebut ilmu sastraoral atau rakyat, adakalanya pula ilmu folklor, sebab
penelitian semacam ini biasanya tidak terbatas pada cerita saja, tetapi
juga segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan rakyat pedesaaan.
Kemudian dikembangkan lagi ilmu bandingan sastra khusus untuk sastra rakyat.
Demikianlah berangsur-angsur berkembang ilmu bandingan sastra tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
No comments:
Post a Comment