Monday, 30 November 2015

DEFENISI DAN MAKNA SASTRA


             
Apa  itu Sastra?
Ketika berpikir mengenai definisi sastra hampir semua ahli tak lupa menyatakan bahwa mustahil ada definisi sastra yang berlaku untuk semua zaman dan semua lingkungan kebudayaan. Sifat-sifat suatu karya yang pada zaman atau lingkungan kebudayaan tertentu dianggap sebagai ciri khas bagi sastra, boleh jadi dianggap tidak relevan pada zaman dan lingkungan kebudayaan yang lain.
            Dari sudut pandang realitas, sastra merupakan karya seni di bidang bahasa yang memenuhi fungsi estetik dalam suatu lingkungan kebudayaan tertentu. Sastralah yang menjadi ciri keunggulan eksistensi bahasa sebagai alat sekaligus bagian dari kebudayaan. Oleh karena bahasa dan kebudayaan selalu berubah sesuai dengan perubahan atau perkembangan masyarakat pendukungnya, maka dengan sendirinya sastra pun ikut berubah sebagai bagian dari perubahan bahasa dan kebudayaan tersebut.
            Namun, dalam praktik orang-orang tetap berusaha memberikan batasan mengenai sastra atau sekurang-kurangnya menentukan ciri-ciri karya sastra, sehingga kemudian dapat dibedakan antara teks-teks sastra dan nonsastra atau antara satu jenis teks sastra dengan jenis teks sastra yang lain.  
            Mula-mula untuk pengertian sastra pada umumnya dipakai kata kesusastraan. Seperti dijelaskan oleh Badudu (1985:5), bahwa  kata kesusastraan berasal dari bentuk dasar susastra yang  diberi imbuhan ke-an. Bentuk dasar susastra (berasal dari bahasa Sansekerta) masih dapat diurai pula atas dua bagian, yakni su  yang berarti baik dan sastra yang berarti tulisan. Bentuk susastra sendiri tidak populer kecuali dalam bentukan kesusastraan  yang  berarti segala sesuatu yang tergolong tulisan yang baik. Effendy (dalam Badudu,  1986:5) juga memasukkan bahasa lisan ke dalam pengertian kesusastraan,, yakni ”Kesusastraan (sastra) ialah ciptaan manusia dalam bentuk bahasa lisan maupun tulisan yang dapat menimbulkan rasa bagus”.
            Pengertian sastra atau kersusastraan juga hampir selalu diuraikan dari sudut pandang pragmatik. Ungkapan Latin ”utile dulci” dari Ars Poetica karangan Horatius telah dianggap sebagai suatu keniscayaan dalam melakukan tugas penulisan karya sastra hingga dewasa ini, yakni memperpadukan yang berguna dengan yang menyenangkan. Ungkapan ini memang terbukti keuniversalannya, karena ia melekat pada fitrah manusia sebagai makhluk yang dianugerahi kelebihan akal yang berpikir dan kalbu yang merasa.
Akhirnya, perkembangan sastra dan ilmu sastra modern yang begitu cepat dan bebas telah mengakibatkan definisi sastra semakin terikat pada waktu dan lingkungan kebudayaan tertentu. Pengertian sastra cenderung diuraikan dari sudut pandang komunikasi, yakni suatu bentuk penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi dengan cara yang khas. Pembatasan pengertian mengenai sastra lebih umum dilakukan dengan cara menemukan sejumlah gejala umum yang terdapat pada teks sastra yang telah membedakannya dengan teks nonsastra. Gejala umum yang dimaksud antara lain sebagai berikut:







TEKS NONSASTRA
TEKS SASTRA
o  berfungsi dalam komunikasi praktis, siap dan langsung dapat dipakai dan dimanfaatkan.

o  tidak  harus memenuhi fungsi estetik dalam suatu lingkungan kebudayaan tertentu.
o  umumnya ditandai oleh objektivitas atau realitas.
o  umumnya menonjolkan penggunaan bahasa yang umum: lugas, sederhana, logis, atau bahasa yang gramatikal.
o  lazimnya menggunakan sudut pandang orang ketiga (nara ketiga) secara konsisten.
o  judul secara langsung menggambarkan isi.

o  tidak berfungsi dalam komunikasi praktis, tidak siap dan tidak langsung dpat dipakai dan dimanfaatkan.
o  harus memenuhi fungsi estetik dalam suatu lingkungan kebudayaan tertentu.
o  umumnya ditandai oleh fiksionalitas atau rekaan.
o  umumnya menonjolkan penggunaan bahasa yang khusus: paralelisme, kiasan, bahasa figuratif, atau bahasa yang tidak gramatikal.
o  lazimnya menggunakan sudut pandang yang bermacam-macan secara bervariasi.
o  judul tidak secara langsung menggambarkan isi.


Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa batasan pengertian mengenai sastra ternyata cukup bervariasi dan selalu berubah sesuai dengan perbedaan dan perubahan tradisi dan konsep estetik yang berlaku dalam  penciptaan karya sastra pada zaman dan lingkungan kebudayaan tertentu.  Dalam kaitannya dengan perkembangan sastra Indonesia, hal itu antara lain ditandai dengan adanya pembagian atau pembedaan antara sastra lama dan sastra modern, atau pengelompokan sastra atas sastra klasik, sastra konvensional, dan sastra ujung tombak (avant garde).
Pengelompokan sastra Indonesia seperti tersebut di atas tentu sangat bergantung pada saat kapan peninjauan terhadap karya sastra itu dilakukan. Pada periode 20-an, misalnya, semua karya sastra yang disampaikan dengan cara lisan dari mulut ke mulut yang mengandung pandangan dan kepercayaan masyarakat lama digolongkan sebagai sastra lama, seperti mantra, pantun, dan dongeng atau cerita rakyat. Sementara itu, semua karya sastra yang disampaikan dengan cara tertulis yang mengandung pandangan dan kepercayaan masyarakat baru digolongkan sebagai sastra modern, seperti sajak-sajak berbentuk soneta dan cerita-cerita roman hasil karya para sastrawan Angkatan 20-an, misalnya. Pada periode awal kemerdekaan, sajak-sajak karya Chairil Anwar dan cerpen-cerpen karya Idrus digolongkan sebagai ujung tombak (sastra ujung tombak) kesusastraan Indonesia modern, tetapi pada periode 80-an karya-karya sastra tersebut sudah tergolong sastra konvensional dan yang menempati posisi sastra ujung tombak adalah sajak-sajak dan cerita prosa kontemporer seperti sajak ”Sihka dan Winka” karya Sutardji, novel ”Merahnya Merah” karya Iwan Simatupang atau ”Telegram” karya Putu Wijaya, dan lain-lain.
Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa (1) tidak ada definisi sastra yang berlaku universal; (2) penamaan sastra untuk berbagai tujuan pengelompokkan selalu mengacu pada perbedaan bentuk dan isi; dan (3) salah satu konsep dasar sastra yang cenderung bisa melintasi batas ruang dan waktu ialah kebenaran pandangan bahwa sastra merupakan seni mengomunikasikan atau mengungkapkan nilai-nilai kehidupan secara subjektif-imajinatif dengan menggunakan bahasa sebagai medium ekspresinya.

Apa itu Sastra Indonesia?
            Dalam kaitan dengan kesimpulan yang dikemukakan terakhir di atas inilah kita patut mengajukan pertanyaan: Apa itu sastra Indonesia? Suatu pertanyaan yang sangat wajar, sebagaimana wajar kita mengajukan pertanyaan-pertanyaan ” Apa Apa itu sastra daerah?; Apa itu sastra asing? dan sebagainya”.
            Bahasa dan sastra merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Hubungan bahasa dan sastra dapat diibaratkan sebagai hubungan tubuh dengan roh seorang manusia. Sastra baru ada setelah ada bahasa sebagai medium ekspresinya. Ajip Rosidi pernah berkata: ”....Sekalian sastra yang ditulis dalam bahasa-bahasa daerah yang terdapat di seluruh wilayah Nusantra ini dinamakan sastra Nusantra, sedangkan yang dinamakan sastra Indonesia hanyalah sastra yang ditulis dalam bahasa Nasional Indonesia saja.” (Rosidi, 1986).
            Meskipun demikian, fakta menunjukkan bahwa faktor bahasa tidak selamanya dapat dijadikan dasar untuk membedakan sastra yang satu dengan sastra yang lainnya. Ada sastra yang mengikut kepada nama bahasanya, seperti sastra Sansekerta dalam bahasa Sansekerta, sastra Yunani dalam bahasa Yunani. Di sisi lain, ada pula sastra yang mengikut kepada nama bangsanya (kebangsaan pengarangnya), seperti sastra Amerika, satra  Australia, sastra Selandia Baru dll., walaupun ditulis dalam bahasa Inggris. Bahkan ada pula sastra yang mengikut kepada nama bangsa walaupun ditulis dalam beberapa bahasa, sastra India, sastra Pakistan, sastra Filipina dll.
            Khusus untuk penamaan sastra Indonesia ternyata tidaklah sesederhana yang diperkirakan banyak orang selama ini. Faktor latar belakang bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu serta perkembangan kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional dan bahasa Negara telah menimbulkan keragaman pendapat di kalangan para ahli dalam hal menentukan batas perbedaan antara sastra Melayu dan sastra Indonesia dan dalam menentukan batas waktu kapan sastra Indonesia itu lahir. Menurut Abrar Yusra (dalam surat kabar PELITA, 17 Februari 1988), kerumitan dalam hal penemaan sastra Indonesia seperti digambarkan di atas terutama disebabkan oleh adanya kekaburan penafsiran sepatah kata ”Indonesia” itu sendiri. Kata  ”Indonesia” yang semula merupakanrumusan geografis alami yang fisikal, kian bermakna transenden, abstrak dan modern serta kompleks.
            Pada akhirnya yang penting dicatat dari berbagai perbedaan pandangan para ahli selama ini adalah kecenderungan bahwa penamaan sastra Indonesia dapat ditentukan berdasarkan tiga faktor utama, yaitu (1) faktor bahasa, (2) faktor nilai atau semangat kebangsaan/nasionalisme, dan (3) faktor pengarang. Dengan demikian, sastra Indonesia adalah semua karya sastra yang ditulis oleh pengarang (sastrawan) Indonesia yang mengungkapkan nilai-nilai atau semangat nasionalisme Indonesia dengan menggunakan bahasa Indonesia sebagai medium ekspresinya.
Sastra: Cabang Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan
Pada uraian pengertian sastra dari sudut pandang etimologi dan pragmatis di atas ini,  sudah digambarkan secara gamblang tentang sastra sebagai cipta karya bahasa yang indah yang dapat menimbulkan kesenangan dan kegunaan bagi konsumen atau penikmatnya. Dalam pengertiannya yang sedemikian itu sastra ditempatkan sebagai salah satu produk seni. Oleh karena seni atau kesenian merupakan salah satu unsur pokok kebudayaan suatu bangsa, maka secara otomatis sastra juga merupakan cabang kebudayaan.
            Dari segi bentuk atau cara penyampaiannya, karya sastra merupakan seni di bidang bahasa yang dapat dibedakan atas jenis karya sastra prosa fiksi (cerita rekaan), puisi, dan drama. Dalam perkembangan selanjutnya, karya seni sastra ini, terutama drama, telah pula dikembangkan sebagai seni pertunjukan. Dari segi kualitas isi dan bahasanya, dibedakan pula atas sastra serius dan sastra komersial.
            Dari segi kandungan isinya, sastra cenderung disejajarkan dengan induk ilmu-ilmu humaniora seperti filsafat dan agama. Budi Darma pernah mengatakan bahwa agama, filsafat, dan sastra memiliki satu tujuan yang sama, yaitu “memanusiakan manusia”. Bahkan dapat pula dikatakan di sini, agama, filsafat, dan sastra memiliki kecenderungan konsep pemakaian bahasa yang sama, yaitu mengutamakan etika dan estetika berbahasa (berkomunikasi).

1 comment:

  1. Do you understand there's a 12 word phrase you can speak to your man... that will induce deep feelings of love and impulsive attraction to you buried inside his chest?

    That's because hidden in these 12 words is a "secret signal" that triggers a man's impulse to love, worship and look after you with his entire heart...

    12 Words Will Trigger A Man's Love Response

    This impulse is so built-in to a man's mind that it will make him work harder than ever before to build your relationship stronger.

    Matter of fact, fueling this influential impulse is absolutely essential to achieving the best ever relationship with your man that the moment you send your man one of these "Secret Signals"...

    ...You will immediately find him open his heart and mind to you in such a way he's never expressed before and he'll see you as the only woman in the galaxy who has ever truly tempted him.

    ReplyDelete

CONTOH LAPORAN PERJALANAN KE GALERI LUKISAN

LAPORAN PERJALANAN KE MASJIDI GALERI LUKISAN Laporan: Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Apres...