Showing posts with label SMA. Show all posts
Showing posts with label SMA. Show all posts

Tuesday 18 November 2014

CONTOH PROPOSAL DISKUSI PUBLIK (Menyikapi Pergaulan Bebas Remaja)


Contoh proposal diskusi publik -Baiklah teman-teman yang saya cintai, kali ini saya ingin memposting contoh proposal diskusi publik. Apakah teman-teman semua sudah mengetahui pengertian proposal?? Proposal itu berasal dari bahasa inggris to propose yang artinya mengajukan dan secara sederhana proposal dapat diartikan sebagai bentuk pengajuan atau permohonan, penawaran baik itu berupa ide, gagasan, pemikiran maupun rencana kepada pihak lain untuk mendapatkan dukungan baik itu yang sifatnya izin, persetujuan, dana dan lain - lain. Proposal juga dapat diartikan sebagai sebuah tulisan yang dibuat oleh si penulis yang bertujuan untuk menjabarkan atau menjelaskan sebuah rencana dan tujuan suatu kegiatan kepada pembaca.

Monday 10 November 2014

MAKALAH TENTANG SOSIOLOGI DAN SEJARAH PENDIDIKAN SOSIOLOGI


Makalah Sosiologi- Sejak manusia dilahirkan di dunia ini, secara sadar maupun tidak, sesungguhnya ia telah belajar dan berkenalan dengan hubungan-hubungan social yaitu hubungan antara manusia dalam masyarakat. Hubungan sosial out dimulai dari hubungan antara anak dengan orang tua kemudian meluas hingga ketetangga. Tahukah anda bahwa ternyata anda telah melakukan aktivitas Sosiologi secara tidak sadar?? Sosiologi adalah  ilmu masyarakat atau ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial. (Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi).

Untuk lebih lengkapnya pengertian sosiologi dapat anda baca di makalah berikut ini.. 


Wednesday 1 October 2014

PENGARUH PENDUDUKAN JEPANG DI INDONESIA DI BIDANG POLITIK, MILITER DAN SOSIAL




BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Hingga hari ini, pendidikan dipercaya sebagai sesuatu hal yang penting. Semenjak memercayai pendidikan, dunia berubah menjadi kota-kota yang didapati gedung-gedung besar dan panjang yang di dalamnya berisi deretan meja dan kursi. Tempat inilah yang kemudian disebut sekolah. Bermula dari tempat itulah konon pendidikan dimulai.
Tugas filsafat pendidikan disini bermaksud memberi bekal kepada para pendidik untuk menjadi paham persoalan-persoalan mendasar pendidikan. Dengan demikian, memungkinkan mereka untuk mengevaluasi dan terus mengembangkan pendidikan menjadi semakin baik. Secara etis, filsafat pendidikan membekali diri untuk melakukan pelacakan-pelacakan tentang tujuan-tujuan hidup dan pendidikan.
Di dalam filsafat pendidikan ada berbagai macam materi, diantaranya ialah aliran-aliran filsafat pendidikan. Disinilah kita akan mengetahui bahwa dalam filsafat pendidikan membahas mengenai aliran-aliran yang sebelumnya belum kita ketahui. Aliaran-aliran tersebut ialah aliran esensialisme dan aliran perennialisme. Esensialisme beranggapan, bahwa manusia perlu kembali kepada kebudayaan lama, yaitu kebudayaan yang telah ada semenjak peradaban manusia yang pertama. Sedangkan Aliran perennialisme ini dianggap sebagai “regressive road to culture” yakni jalan kembali, atau mundur kepada kebudayaan masa lampau.
B.     Rumusan masalah
1.   Apakah yang dimaksud dengan aliran esensialisme dan perenialisme?
2.   Bagaimanakah peran aliran esensialisme dan perenialisme dalam pendidikan?
C.     Tujuan
1.   Mengetahui pengertian aliran esensialisme dan perennialisme.
2.   Mengetahui peranan aliran esensialisme dan perennialisme dalam pendidikan.











BAB II
PEMBAHASAN

A.       Esensialisme
1.        Pengertian dan Sejarah Aliran Esensialisme
Aliran esensialisme adalah suatu aliran filsafat yang lebih merupakan perpaduan ide filsafat idealism-objektif di satu sisi dan realism-objektif di sisi lainnya. Oleh karena itu, wajar jika ada yang mengatakan bahwa Plato lah sebagai peletak asas-asas filosofis aliran ini, ataupun Aristoteles dan Democritos sebagai peletak dasar-dasarnya.Kendatipun kemunculan aliran ini didasari oleh pemikiran filsafat idealism Plato dan realism Aristoteles, namun bukan berarti kedua aliran ini lebur ke dalam paham esensialisme. Sebagai sebuah aliran filsafat, esensialisme telah lahir sejak zaman renaissance, bahkan dapat dikatakan sejak zaman Plato dan Aristoteles (Muhmidayeli. 2011: 166).
Esensialisme pertama kali muncul sebagai reaksi atas simbiolisme mutlak dan dogmatisme abad pertengahan. Aliran ini beranggapan, bahwa manusia perlu kembali kepada kebudayaan lama, yaitu kebudayaan yang telah ada semenjak peradaban manusia yang pertama. Hal ini mengingat kebudayaan lama itu telah  banyak membuktikan  kebaikan-kebaikannya untuk manusia
(Muhmidayeli. 2011: 166).
Esensilisme didasari atas pandangan humanisme yang merupakan reaksi terhadap hidup yang mengarah pada keduniawian, serta ilmiah dan materialistic.Selain itu juga diwarnai. Oleh pandangan-pandangan dari paham penganut aliran idealism dan realism. Imam Barnadib (1981), menyebutkan beberapa tokoh utama yang berperan dalam penyebaran aliran esensialisme yaitu :
-            Desiderius Erasmus, humanis Belanda yang hidup pada akhir abad 15 dan permulaan abad 16, yang merupakan tokoh pertama yang menolak pandangan hidup yang berpijak pada dunia lain. Erasmus berusaha agar kurikulum sekolah bersifat huanistis dan bersifat internasional, sehingga bias mencakup lapisan menengah dan kaum aristocrat.
-            Johann Amos Comenius yang hidup diseputar tahun 1592-1670, adalah seorang yang memiliki pandangan realis dan dogamis. Comenius berpendapat bahwa pendidikan mempunyai peranan membentuk anak sesuai dengan kehendak Tuhan, karena pada hakikatnya dunia adalah dinamis dan bertujuan.
-            John Locke, tokoh dari Inggris yang hidup pada tahun 1632-1704 sebagai pemikir dunia berpendapat bahwa pendidikan hendaknya selalu dekat dengan situasi dan kondisi. Locke mempunyai sekolah kerja untuk anak-anak miskin.
-            Johann Henrich Pestalozzi, sebagai seorang tokoh yang berpandangan naturalistis yang hidup pada tahun 1746-1827. Pestalozzi mempunyai kepercayaan bahwa sifat-sifat alam itu tercermin pada manusia, sehingga pada diri manusia terdapat kemampuan-kemampuan wajarnya. Selain itu, ia mempunyai keyakinan bahwa manusia juga mempunyai hubungan transcendental langsung dengan Tuhan.
-            Johann Friederich Frobel (1782-1852) sebagai tokoh yang bepandangan kosmis-sintesis dengan keyakinannya bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang merupakan bagian dari alam ini, sehingga manusia tunduk dan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum alam. Terhadap pendidikan Frobel memandang anak sebagai makhluk yang berekspresi kreatif, yang dalam tingkah lakunya akan Nampak adanya kualitas metafisis. Karenanya tugas pendidikan adalah memimpin anak didik kea rah kesadaran diri sendiri yang murni, selaras dengan fitrah kajadiannya.
-            Jihann Friederich Herbert yang hidup pada tahun 1776-1841, sebagai salah seorang murid  Immanuel kant yang perpandangan  kritis, Herbert berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah menyesuaikan jiwa seseorang dengan kebajikan dari yang  Mutlak dalam arti penyesuaian dengan hokum-hukum kesusilaan dan inilah yang disebut proses pencapaian tujuan pendidikan oleh Herbert sebagai pengajaran yang mendidik.
-            William T. Harris, tokoh dari Amerika Serikat hidup pada tahun 1835-1909. Harris yang pandangannya dipengaruhi oleh Hegel berusaha menerapkan idealism obyektif pada pendidikan umum. Tugas pendidikan baginya adalah mengizinkan terbukanya realita berdasarkan susunan yang pasti, berdasarkan kesatuan spiritual. Kedudukan sekolah adalah sebagai lembaga yang memelihara nilai-nilai yang telah turun temurun dan menjadi penuntun penyesuaian diri kepada masyarakat.
2.        Konsep Pendidikan Esensialis
Ahli pendidikan esensialis tidak memandang anak sebagai orang yang jahat, dan tidak pula memandang anak sebagai orang yang secara alamiah baik. Anak-anak tersebut tidak akan  menjadi anggota masyarakat yang berguna, kecuali kalau anak-anak secara aktif dan penuh semangat diajarkan nilai disiplin, kerja keras, dan rasa hormat  pada pihak berwenang/punya otoritas. Kemudian, para guru adalah membentuk para siswa, menangani insting-insting alamiah dan nonproduktif mereka (seperti agresi, kepuasan indera tanpa nalar, dll) dibawah pengawasan sampai pendidikan mereka selesai. (Uyoh. 2010 : 160)
Menurut filsafat esensialisme, pendidikan sekolah harus bersifat praktis dan memberi anak-anak pengajaran yang logis yang mempersiapkan mereka untuk hidup, sekolah tidak boleh mencoba mempengaruhiatau menetapkan kebijakan-kebijakan sosial. Walaupun demikian ritik-kritik terhadap esensialisme mendakwa bahwa orientasi yang terikat tradisi pada pendidikan sekolah akan mengindoktrinasi siswa dan mengesampingkan kemungkinan perubahan. Kaum esensialis menjawab bahwa dengan tanpa  suatu pendekatan esensialis, para siswa akan terindoktrinasi pada kurikulum humanistik dan atau behavioral yang menjalankan perlawanan pada standar-standar dan kebutuhan yang diperlukan masyarakat untuk ditata (Uyoh. 2010 : 161).
Dalam esensialisme, biasanya akan diajarkan beberapa mata pelajaran yang diatur mirip dengan Membaca, menulis, sastra, bahasa asing, sejarah, matematika, sains, seni dan musik. Peran guru dikalangan esensialis sangat berbeda dengan di kalangan progresif yang sama sekali tidak otoritatif bahkan hanya menjadi fasilitator, sebaliknya berupaya untuk kembali menjadi otoritatif. Oleh karena itu, sikap-sikap yang ditanamkan adalah menanamkan rasa hormat terhadap otoritas, ketekunan, tugas, pertimbangan dan kepraktisan
(Taguh. 2011 : 162).

3.        Landasan Filosofis Esensialisme
Esensialisme memandang bahwa manusia sebagai bagian dari alam semesta yang bersifat mekanis dan tunduk pada hukum-hukumnya yang objektif-kausalitas, maka iapun secara nyata terlibat dan tunduk pula pada hukum-hukum alam.Dengan demikian, manusia selalu bergerak dan berkembang sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum natural yang bersifat universal
(Muhmidayeli. 2011: 168).
Para esensialis memandang, bahwa ilmu pengetahuan mulai dari upaya manusia dalam memandang realitas melalui bantuan alat panca indra. Atas dasar penggunaan alat indranya, manusia kemudian akan dapat memahami dan mengerti apa yang ia lihat sehingga melahirkan ide dengan cara membuat relasi antar fakta dan realitas tidak lain adalah melalui kesadaran jiwa dalam memandang fakta tersebut. Oleh karena itu adalah sesuatu hal mustahil ilmu pengetahuan tumbuh dan berkembang jika semata-mata berdasarkan pada hal-hal yang bersifat indrawi saja tanpa mengikut sertakan fungsi akal manusia (Muhmidayeli. 2011: 168).
Aliran ini berpendapat, bahwa sumber segala pengetahuan manusia terletak pada keteraturan lingkungan hidup.Dalam bidang aksiologi, nilai bagi aliran ini, seperti kebenaran, berakar dalam dan berasal dari sumber objektif.Watak sumber merupakan perpaduan pandangan idealisme dan realisme
(Muhmidayeli. 2011: 168).
4.        Prinsip-prinsip Esensialis
Menurut George (2007 : 178-181), Prinsip-prinsip esensialis terdiri atas :
a.         Tugas Pertama Sekolah adalah Mengajarkan Pengetahuan Dasariah
 Bagi kalangan Esensialis, pendidikan mempunyai tugas pokok menyelenggarakan pembelajaran keterampilan-keterampilan dasariah dan materi, yang dengan penguasaan penuh, akan meyiapkan peserta didik untuk berfungsi sebagai anggota masyarakat yang berperadaban. Sekolah dasar menurut kalangan esensialis, harus memusatkan perhatian pada kurikulum yang dirancang untuk menanamkan keterampilan-keterampilan dasar yang memberi  sumbangan pada kemampuan baca tulis dan penguasaan hitungan aritmatik.
b.        Belajar adalah usaha keras dan menuntut kedisiplinan
Kalangan esensialis ‘dikecewakan’ oleh kenyataan bahwa banyak lulusan sekolah menengah secara fungsional tidak terpelajar dan bahwa sejumlah besar mahasiswatingkat pertama perguruan tinggi (masih) membutuhkan hal yang sangat elementer  dari bahsa inggris.sekolah-sekolah, menurut mereka, terlalu lama berpusat pada keinginan-keinginan para peserta didik. Ini telah membuat sebuah lelucon pendidikan. Apa yang diperlukan peserta didik adalah pemerolehan  pengetahuan  tentang dunia ini melalui penguasaan materi ajar ajang esensial dan  dasariah.
c.         Belajar adalah usaha keras dan  menuntut kedisiplinan
            Mempelajari hal-hal yang esensial  tidak bisa selamnya dihubungkan dengan kepentingan  dan keinginan peserta didik. Meskipun pendekatan pemecahan masalah kalangan progresif terhadap belajar acapkali berguna, (namun) harus disadari bahwa tidak semua materi ajar dapat dijabarkan ke dalam masalah-masalah dan proyek-proyek.Banyak dari perlu dipellajari dengan metode-metode yang ‘keras dan kaku’ seperti penghafalan dan drill.Bagi banyak pesertadidik, ketertarikan (minat) berkembang setelah mereka melakkukan sejumlah usaha yang diperlukan untuk memahami suatu bidang materi kajian.
d.        Guru adalah lokus otoritas  ruang kelas
Kalangan esensialis berpendapat bahwa guru bukanlah orang yang mengikuti  keinginan murid atau seorang pemandu. Koranya, guru adalah orang yang mengetahui apa yang dibutuhkan peserta didiknya untuk diketahui, dan sudah sedemikian  kenal dengan  tatanan logis materi ajar dan cara penyampaiannya.
5.        Pandangan Esensialisme tentang Pendidikan
Kelompok esensialis memandang, bahwa pendidikan yang didasari pada nilai-nilai yang fleksibel dapat menjadikan pendidikan ambivalen dan tidak memiliki arah dan orientasi yang jelas. Oleh karena itu, agar pendidikan memiliki tujuan yang jelas dan kukuh diperlukan nilai-nilai yang  kukuh yang akan mendatangkan kestabilan. Untuk itu, perlu dipilih nilai-nilai yang mempunyai tata yang jelas dan telah teruji oleh waktu.
6.        Tujuan Pendidikan Esensialisme
Tujuan pendidikan adalah untuk meneruskan warisan budaya dan warisan sejarah melalui pengetahuan inti yang terakumulasi dan telah bertahan dalam kurun waktu yang lama, serta merupakan suatu kehidupan yang telah teruji oleh waktu dan dikenal oleh semua orang. Pengetahuan tersebut bersama dengan skill, sikap, dan nilai-nilai yang memadai akan mewujudkan elemen-elemen pendidikan yang esensial. Tugas siswa adalah menginternalisasikan atau menjadikan miliki pribadi elemen-elemen tersebut (Uyoh. 2010 : 161).
Selain merupakan warisan budaya, tujuan pendidikan esensialisme adalah mempersiapkan manusia untuk hidup.Namun, hidup tersebut sangat kompleks dan luas, sehingga kebutuhan-kebutuhan untuk hidup tersebut berada di luar wewenang sekolah.Hal ini tidak berarti bahwa sekolah tidak dapat memberikan kontribusi untuk mempersiapkan hidup tersebut.Kontribusi sekolah terutama bagaimana merancang sasaran mata pelajaran sedemikian rupa terutama tujuan pelajaran yang dapat dipertanggungjawabkan, yang pada akhirnya memadai untuk mempersiapkan manusia hidup. (Uyoh. 2010 : 161)
Esensialisme berupaya untuk mengajar siswa dengan berbagai pengetahuan sejarah melalui mata kuliah inti dalam displin akademis tradisional. Esensialisme juga bermaksud menanamkan pengetahuan akademis, patriotisme, dan pengembangan karakter. Pendekatan tradisional ini dimaksudkan untuk melatih pikiran, mempromosikan penalaran dan menjamin budaya umum
(Teguh. 2011 : 162).
B.       Perennialisme
1.        Perennialisme dalam Pengertian dan Sejarah
Perennialisme diambil dari kata “perennial”, menurut Oxford Advenced Learner’s Dictionary of Current English, artinya adalah: “Continuing throughout the whole year”, atau “lasting for a every long time.  Berdasarkan arti kata yang dikemukakan kamus tersebut, maka dapat dipahami bahwa, “perennialismeadalah aliran filsafat yang berpegang pada nilai-nilai dan/norma-norma yang bersifat kekal-abadi (Muhammad. 2009: 78).
Teori kependidikan kalangan perenialis mencuat sebuah pemikiran formal (resmi) pada dekade 1930-an sebagai bentuk reaksi terhadap kalangan progresif, yang mana kalangan perenialis merasakan runyamnya bangunan intelektual kehidupan bangsa Amerika karena penekanan mereka di sekolah-sekolah terhadap keterpusatan pada subjek didik, paham kekinian, dan penyesuaian hidup. Perenialisme modern secara umum menampilkan sebuah penolakan besar-besaran terhadap cara pandang progresif. Bagi kalangan perennialisme, permanensi (keajengan), meskipun pergolakan-pergolakan politik dan sosial yang sangat menonjol, adalah lebih riil (nyata) daripada konsep perubahan kalangan pragmatis. Dengan demikian kalangan perenialis mempelopori gerakan kembali pada hal-hal absolut dan mempokuskan pada ide-gagasan yang luhur-menyejarah dari budaya manusia ide-gagasan semacam ini telah terbukti keabsahan dan kegunaannya karena mampu bertahan dari ujian waktu. Perenialisme menekankan arti penting akal budi, nalar dan karya-karya besar pemikir masa lalu
(George 2007:164).
Seperti yang dikatakan di atas perennialisme merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Perennialisme menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Perennialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian, dan ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan moral, intelektual, dan sosio-kultural. Oleh karena itu, perlu ada usaha untuk mengamankan ketidakberesan tersebut (Uyoh 2011:151).
Aliran ini dianggap sebagai “regressive road to culture” yakni jalan kembali, atau mundur kepada kebudayaan masa lampau. Perenialisme menghadapi kenyataan dalam kebudayaan manusia sekarang, sebagai satu krisis kebudayaan dalam kehidupan manusia modern. Untuk menghadapi situasi krisis itu, perennialisme memberikan pemecahan dengan jalan “kembali kepada kebudayaan masa lampau,” kebudayaan yang dianggap ideal (Mohammad. 1983: 295).
Dalam pendidikan, kaum perenialis berpandangan bahwa dalam dunia yang tidak menentu dan penuh kekacauan serta membahayakan, seperti kita rasakan dewasa ini, tidak ada satupun yang lebih bermanfaat daripada kepastian tujuan pendidikan, serta kestabilan dalam perilaku pendidik (Uyoh. 2011: 151).
Pendidikan harus lebih banyak mengarahkan pusat perhatiannya kepada kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh. Karena itu perennialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali, atau proses mengembalikan keadaan manusia sekarang seperti dalam kebudayaan ideal dimaksud, “education as cultural regression.” Perennialisme tak melihat jalan yang menyakinkan selain kembali kepada prinsip-prinsip yang telah sedemikian membentuk sikap kebiasaan, bahkan kepribadian manusia selain kebudayaan dulu dan kebudayaan abad pertengahan (Mohammad. 1983: 295).
Perennialisme memilih prisi demikian karena realita zaman modern memberi alasan objektif, memberi kondisi untuk pilihan itu. Untuk prinsip ide itu, Bramel menulis:
“.......kaum perennialisme mereasi dan melawan kegagalan-kegagalan dan tragedi-tragedi dalam abad modern ini dengan mundur kembali kepada kepercayaan-kepercayaan yang aksiomatis, yang telah teruji tangguh, baik dalam teori realita, teori ilmu pengetahuan, maupun teori nilai, yang telah memberi dasar fundamental bagi abad-abad sebelumnya (Mohammad. 1983: 295).
Dalam bidang pendidikan, perennialisme sangat dipengaruhi oleh tokoh-tokoh utamanya: Plato, Aristoteles dan Thomas Aquinas, Perennialisme dalam bahasa latin disebut dengan “Philosophia Perennis”, dan berdasarkan pendapat Hamdani Ali dalam bukunya Filsafat Pendidikan, dikategorikan sebagai pendukung kuat filsafat Essensialisme. Aristoteles dan kemudian didukung oleh St. Thomas Aquinas yang melanjutkan pengembangannya sebagai pembaharu utama dalam abad ke XIII, berhasil dengan mulus memberikan dasar atau landasan pemikiran sehingga aliran perennialisme ini berkembang beriringan dengan berkembangnya zaman, tanpa melepas asas atau landasan pemikirannya. Dibandingkan dengan aliran-aliran filsafat yang banyak bermunculan, tetapi banyak pula diantaranya yang tidak berkembang, sehingga tidak banyak memberikan corak pemikiran pada masa-masa sesudahnya. Lain halnya dengan perennialisme, terus –menerus tumbuh-berkembang, dari satu generasi ke generasi berikutnya, berkelanjutan dari tahun ke tahun, bahkan ratusan tahun telah berlalu, tetap hidup sepanjang waktu. Maka, aliran ini benar-benar dapat disebut sebagai filsafat perennial, yaitu filsafat yang abadi, filsafat yang hidup kekal sepanjang masa (Muhammad. 2009: 79).
Aristoteles mengemukakan pemikiran dasar berdirinya aliran perennialisme, menegaskan bahwa  batu pondasi dari bangunan alam semesta ini adalah logis dalam karakternya, yaitu prinsip kembar aktualitas” dan “potensialitas”. Setiap sesuatu yang ada, tidak hanya merupakan kombinasi antara zat/benda yang merupakan unsur potensialitas dengan bentuk yang merupakan unsur aktualitas, akan tetapi juga sebagaimana yang dinyatakan oleh Aquinas, merupakan sesuatu yang datang bersama, dari sesuatu “apa” yang terkandung dalam “inti” yang merupakan unsur potensialitas, dengan tindakan untuk “berada” yang merupakan unsur aktualitas (Muhammad. 2009: 80).
2.        Prinsip-prinsip Perennialisme
a.         Manusia adalah Hewan Rasional
Kalangan perenialis menilai manusia secara umum mempunyai kesamaan dengan dunia hewan dalam hal keinginan, kesenangan dan tugsa kerja. Sebagai contoh, anjing-anjing merasa senang mengendarai motor, dapat membawa muatan dan bentuk kerja lainnya, dan menyukai makanan yang disiapkan untuk manusia. Dalam pengertian semacam ini, manusia dan hewan banyak mempunyai kesamaan. Hal yang membuat berbeda adalah kenyataan, bahwa dari seluruh jenis hewan, hanya manusialah yang mepunyai kecerdasan rasional. Ini adalah karakteristik manusia yang paling berharga dan unik. Aristoteles beranggapan bahwa manusia adalah hewan rasional, dan kalangan perennialis senada dalam hal ini. Dengan demikian, pandangan mereka tentang pendidikan amat mengutamakan pada pendidikan sisi rasional manusia. Hutchins menuliskan, bahwa “ada suatu hal esensial untuk menjadi manusia, dan suatu hal esensial pula belajar mempergunakan akal pikir.” Setelah seseorang mengembangkan akal pikirnya, ia akan dapat menggunakan nalarnya untuk mengontrol nafsu dan syahwatnya (George. 2007: 169).
b.        Hakikat (watak) Dasar Manusia Secara Universal Tak Berubah; Oleh Karena itu, Pendidikan Harus Sama Untuk Setiap Orang.
Salah satu kenyataan penting menyangkut hakikat rasional manusia adalah bahwa hakikat rasional ini ada pada seluruh manusia disepanjang penggal sejarahnya. Jika manusia adalah hewan rasional dan jika orang-orang itu sama dalam hal ini, maka itu berarti bahwa semua orang harus mendapatkan pendidikan yang sama (George. 2007: 170).
c.         Pengetahuan Secara Universal Tak Berubah; karena itu Ada Materi Kajian Dasar Tertentu yang Harus Diajarkan pada Semua Orang.
Pendidikan, menurut kalangan perenialis yang berlawanan dengan kalangan progresif “janganlah menyesuaikan individu dengan dunia, akan tetapi lebih pada menyesuaikan dengan kebenaran”. Kurikulum janganlah memusatkan pada kepentingan jangka pendek subjek didik, sesuatu yang sesaat tampak penting atau apa yang menarik bagi masyarakat tertentu dalam waktu dan tempat yang sangat spesifik. Fungsi pendidikan bukanlah latihan vokasional atau profesional. Sekolah harus memusatkan pada pendidikan intelek untuk menyerap dan memahami kebenaran-kebenaran abadi dan esensial yang menghubungkan peran manusia dalam kehidupan masyarakat. Pengetahuan dasar semacam ini akan membantu orang memahami satu sama lain dan akan membekali mereka secara lebih baik untuk berkomunikasi dan membangun sebuah tatanan sosial yang lebih memuaskan (George. 2007: 171).
Menurut Robert Hutchkins, tujuan pendidikan adalah mengembangkan akal budi supaya anak didik dapat hidup penuh kebijaksanaan demi kebaikan hidup itu sendiri. Oleh karenanya, tujuan pendidikan di sekolah perlu sejalan dengan pandangan dasar di atas, mempertinggi kemampuan anak untuk memiliki akal sehat (Jalaluddin dan Abdullah. 2010: 118).
Kesimpulannya, tujuan pendidikan yang hendak dicapai oleh para ahli tersebut di atas adalah untuk mewujudkan anak didik dapat hidup bahagia demi kebaikan hidupnya sendiri. Jadi, dengan mengembangkan akalnya maka akan dapat mempertinggi kemampuan akal. Dari prinsip-prinsip pendidikan perenialisme tersebut, maka dapat diketahui bahwa perkembangan pendidikan perenialisme telah mempengaruhi sistem pendidikan modern, seperti pembagian kurikulum untuk sekolah dasar, menengah, perguruan tinggi dan pendidikan orang dewasa (Jalaluddin dan Abdullah. 2010: 118).
C.       Perbandingan Esensialisme dan Perenialisme
1.        Persamaan Aliran Esensialisme dan Aliran Perennialisme
Menurut George (2007:181), Dalam perbincangan tentang esensialisme dan perenialisme tampak bahwa dua teori konservatif ini mempunyai banyak kesamaan. Christopher Lucas menuturkan kesamaan di antara keduanya sebagai berikut:
a.         Beragam ajaran kalangan tradisonalis atau konservatif cenderung setuju bahwa pertimbangan-pertimbangan kegunaan dan efisiensi teknokratik harus ditundukkan pada tujuan-tujuan etis, spiritual, dan intelektual yang tertinggi dari pendidikan umum.
b.        Kalangan esensialis dan perenialis setuju bahwa hal inti dari usaha-usaha pendidikan adalah pegalihan dan asimilasi suatu disiplin materi kajian tertentu, sesuatu yang memasukkan unsur-unsur dasariah dari wawasan budaya sosial.
c.         Keduanya memperkenalkan pentingnya upaya serius, kedisiplinan dan kontrol dari dalam proses belajar, sebagai laan dari memperturutkan diri mengikuti kebutuhan-kebutuhan jangka pendek dan kepentingan sesaat.
d.        Kalangan konservatif sama-sama mendukung gagasan kesinambungan sirkuler.
2.        Perbedaan Aliran Esensialisme dan Aliran Perenialisme
Menurut George (2007: 182), perbedaan-perbedaan antara kedua aliran ini ialah sebagai berikut:
a.         Bahwa esensialisme secara utuh lebih kurang menekankan intelektual dibandingkan dengan perenialisme. Esensialisme lebih kurang memperhatikan kebenaran-kebenaran yang dianggap abadi dan lebih memperhatikan penyesuaian peserta didik terhadap lingkungan sosial dan fisiknya daripada perenialisme. 
b.        Bahwa esensialisme lebih bersedia (daripada perenialisme) menyerap masukan-masukan positif progresivisme untuk metode pendidikan.
c.         Pada sikap yang berlainan terhadap karya-karya besar masa lalu. Kalangan perenialisme amat menekankan karya-karya semacam itu sebagai perwujudan gagasan universal manusia yang tak terbatasi waktu. Sementara itu kalangan esensialis menganggap karya-karya besar masa lalu sebagai salah satu sumber yang mungkin untuk pengkajian persoalan-persoalan sekarang.
d.        Suatu perbedaan yang tidak disingggung oleh Kneller namun akan membantu pembaca untuk lebih bisa memahami perbedaan-perbedaan diantara keduanya, adalah bahwa bidikan utama perenialisme diarahkan pada pendidikan tinggi, sedangkan bidikan kalangan esensialime tampaknya lebih ditujukan untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah.















BAB III
PENUTUP

A.       Kesimpulan
1.    Pengertian Aliran Esensialisme dan Aliran Perenialisme
·           Aliran Esensialisme beranggapan, bahwa manusia perlu kembali kepada kebudayaan lama, yaitu kebudayaan yang telah ada semenjak peradaban manusia yang pertama. Hal ini mengingat kebudayaan lama itu telah  banyak membuktikan  kebaikan-kebaikannya untuk manusia.
·           Aliran Perennialisme atau perenialisme diambil dari kata “perennial” yaitu aliran filsafat yang berpegang pada nilai-nilai dan/norma-norma yang bersifat kekal-abadi.
2.    Peranan Esensialisme serta Perenialisme dalam Pendidikan
·           Bagi kalangan Esensialis, pendidikan mempunyai tugas pokok menyelenggarakan pembelajaran keterampilan-keterampilan dasariah dan materi, yang dengan penguasaan penuh, akan meyiapkan peserta didik untuk berfungsi sebagai anggota masyarakat yang berperadaban.
·           Prinsip mendasar pendidikan bagi aliran perennialisme ini adalah membantu subjek-subjek didik menemukan dan menginternalisasikan kebenaran abadi, karena memang kebenarannya mengandung sifat universal dan tetap. Kebenaran-kebenaran seperti ini hanya dapat diperoleh subjek-subjek didik melalui latihan intelektual yang dapat menjadikan pikirannya teratur dan tersistematisasi sedemikian rupa.
B.       Saran
Kepada semua pembaca bila mendapat kekeliruan dalam makalah ini harap bisa meluruskannya, serta agar dapat  membaca kembali literatur-literatur yang berkenaan dengan pembahasan ini sehingga diharapkan akan bisa lebih menyempurnakan kembali pembahasan materi dalam ma


















DAFTAR PUSTAKA

Barnadib, Imam. 1976. Filsafat Pendidikan: Sistem dan Metode. Yogyakarta: Andi Offset.

Gandhi, Wangsa Teguh. 2011. Filsafat Pendidikan: Mazhab-Mazhab Filsafat Pendidikan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Jalaluddin dan Abdullah. 2010. Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat, dan Pendidikan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Knight, R. George. 2007. Filsafat Pendidikan, Yogyakarta: Gama Media.
Muhmidayeli. 2011. Filsafat Pendidikan. Bandung: PT. Refika Aditama.
Sadulloh, Uyoh. 2011. Pengantar Filsafat Pendidikan, Alfabeta: Bandung.
Said, AS Muhammad. 2009. Filsafat Pendidikan Islam. Yogyakarta: Mitra Pustaka.

Syam, Noor Mohammad. 1983. Filsafat pendidikan dan dasar filsafat pendidikan pancasila. Surabaya: Usaha Nasional.









CONTOH LAPORAN PERJALANAN KE GALERI LUKISAN

LAPORAN PERJALANAN KE MASJIDI GALERI LUKISAN Laporan: Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Apres...