Monday 30 November 2015

DEFENISI DAN MAKNA SASTRA


             
Apa  itu Sastra?
Ketika berpikir mengenai definisi sastra hampir semua ahli tak lupa menyatakan bahwa mustahil ada definisi sastra yang berlaku untuk semua zaman dan semua lingkungan kebudayaan. Sifat-sifat suatu karya yang pada zaman atau lingkungan kebudayaan tertentu dianggap sebagai ciri khas bagi sastra, boleh jadi dianggap tidak relevan pada zaman dan lingkungan kebudayaan yang lain.
            Dari sudut pandang realitas, sastra merupakan karya seni di bidang bahasa yang memenuhi fungsi estetik dalam suatu lingkungan kebudayaan tertentu. Sastralah yang menjadi ciri keunggulan eksistensi bahasa sebagai alat sekaligus bagian dari kebudayaan. Oleh karena bahasa dan kebudayaan selalu berubah sesuai dengan perubahan atau perkembangan masyarakat pendukungnya, maka dengan sendirinya sastra pun ikut berubah sebagai bagian dari perubahan bahasa dan kebudayaan tersebut.
            Namun, dalam praktik orang-orang tetap berusaha memberikan batasan mengenai sastra atau sekurang-kurangnya menentukan ciri-ciri karya sastra, sehingga kemudian dapat dibedakan antara teks-teks sastra dan nonsastra atau antara satu jenis teks sastra dengan jenis teks sastra yang lain.  
            Mula-mula untuk pengertian sastra pada umumnya dipakai kata kesusastraan. Seperti dijelaskan oleh Badudu (1985:5), bahwa  kata kesusastraan berasal dari bentuk dasar susastra yang  diberi imbuhan ke-an. Bentuk dasar susastra (berasal dari bahasa Sansekerta) masih dapat diurai pula atas dua bagian, yakni su  yang berarti baik dan sastra yang berarti tulisan. Bentuk susastra sendiri tidak populer kecuali dalam bentukan kesusastraan  yang  berarti segala sesuatu yang tergolong tulisan yang baik. Effendy (dalam Badudu,  1986:5) juga memasukkan bahasa lisan ke dalam pengertian kesusastraan,, yakni ”Kesusastraan (sastra) ialah ciptaan manusia dalam bentuk bahasa lisan maupun tulisan yang dapat menimbulkan rasa bagus”.
            Pengertian sastra atau kersusastraan juga hampir selalu diuraikan dari sudut pandang pragmatik. Ungkapan Latin ”utile dulci” dari Ars Poetica karangan Horatius telah dianggap sebagai suatu keniscayaan dalam melakukan tugas penulisan karya sastra hingga dewasa ini, yakni memperpadukan yang berguna dengan yang menyenangkan. Ungkapan ini memang terbukti keuniversalannya, karena ia melekat pada fitrah manusia sebagai makhluk yang dianugerahi kelebihan akal yang berpikir dan kalbu yang merasa.
Akhirnya, perkembangan sastra dan ilmu sastra modern yang begitu cepat dan bebas telah mengakibatkan definisi sastra semakin terikat pada waktu dan lingkungan kebudayaan tertentu. Pengertian sastra cenderung diuraikan dari sudut pandang komunikasi, yakni suatu bentuk penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi dengan cara yang khas. Pembatasan pengertian mengenai sastra lebih umum dilakukan dengan cara menemukan sejumlah gejala umum yang terdapat pada teks sastra yang telah membedakannya dengan teks nonsastra. Gejala umum yang dimaksud antara lain sebagai berikut:







TEKS NONSASTRA
TEKS SASTRA
o  berfungsi dalam komunikasi praktis, siap dan langsung dapat dipakai dan dimanfaatkan.

o  tidak  harus memenuhi fungsi estetik dalam suatu lingkungan kebudayaan tertentu.
o  umumnya ditandai oleh objektivitas atau realitas.
o  umumnya menonjolkan penggunaan bahasa yang umum: lugas, sederhana, logis, atau bahasa yang gramatikal.
o  lazimnya menggunakan sudut pandang orang ketiga (nara ketiga) secara konsisten.
o  judul secara langsung menggambarkan isi.

o  tidak berfungsi dalam komunikasi praktis, tidak siap dan tidak langsung dpat dipakai dan dimanfaatkan.
o  harus memenuhi fungsi estetik dalam suatu lingkungan kebudayaan tertentu.
o  umumnya ditandai oleh fiksionalitas atau rekaan.
o  umumnya menonjolkan penggunaan bahasa yang khusus: paralelisme, kiasan, bahasa figuratif, atau bahasa yang tidak gramatikal.
o  lazimnya menggunakan sudut pandang yang bermacam-macan secara bervariasi.
o  judul tidak secara langsung menggambarkan isi.


Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa batasan pengertian mengenai sastra ternyata cukup bervariasi dan selalu berubah sesuai dengan perbedaan dan perubahan tradisi dan konsep estetik yang berlaku dalam  penciptaan karya sastra pada zaman dan lingkungan kebudayaan tertentu.  Dalam kaitannya dengan perkembangan sastra Indonesia, hal itu antara lain ditandai dengan adanya pembagian atau pembedaan antara sastra lama dan sastra modern, atau pengelompokan sastra atas sastra klasik, sastra konvensional, dan sastra ujung tombak (avant garde).
Pengelompokan sastra Indonesia seperti tersebut di atas tentu sangat bergantung pada saat kapan peninjauan terhadap karya sastra itu dilakukan. Pada periode 20-an, misalnya, semua karya sastra yang disampaikan dengan cara lisan dari mulut ke mulut yang mengandung pandangan dan kepercayaan masyarakat lama digolongkan sebagai sastra lama, seperti mantra, pantun, dan dongeng atau cerita rakyat. Sementara itu, semua karya sastra yang disampaikan dengan cara tertulis yang mengandung pandangan dan kepercayaan masyarakat baru digolongkan sebagai sastra modern, seperti sajak-sajak berbentuk soneta dan cerita-cerita roman hasil karya para sastrawan Angkatan 20-an, misalnya. Pada periode awal kemerdekaan, sajak-sajak karya Chairil Anwar dan cerpen-cerpen karya Idrus digolongkan sebagai ujung tombak (sastra ujung tombak) kesusastraan Indonesia modern, tetapi pada periode 80-an karya-karya sastra tersebut sudah tergolong sastra konvensional dan yang menempati posisi sastra ujung tombak adalah sajak-sajak dan cerita prosa kontemporer seperti sajak ”Sihka dan Winka” karya Sutardji, novel ”Merahnya Merah” karya Iwan Simatupang atau ”Telegram” karya Putu Wijaya, dan lain-lain.
Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa (1) tidak ada definisi sastra yang berlaku universal; (2) penamaan sastra untuk berbagai tujuan pengelompokkan selalu mengacu pada perbedaan bentuk dan isi; dan (3) salah satu konsep dasar sastra yang cenderung bisa melintasi batas ruang dan waktu ialah kebenaran pandangan bahwa sastra merupakan seni mengomunikasikan atau mengungkapkan nilai-nilai kehidupan secara subjektif-imajinatif dengan menggunakan bahasa sebagai medium ekspresinya.

Apa itu Sastra Indonesia?
            Dalam kaitan dengan kesimpulan yang dikemukakan terakhir di atas inilah kita patut mengajukan pertanyaan: Apa itu sastra Indonesia? Suatu pertanyaan yang sangat wajar, sebagaimana wajar kita mengajukan pertanyaan-pertanyaan ” Apa Apa itu sastra daerah?; Apa itu sastra asing? dan sebagainya”.
            Bahasa dan sastra merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Hubungan bahasa dan sastra dapat diibaratkan sebagai hubungan tubuh dengan roh seorang manusia. Sastra baru ada setelah ada bahasa sebagai medium ekspresinya. Ajip Rosidi pernah berkata: ”....Sekalian sastra yang ditulis dalam bahasa-bahasa daerah yang terdapat di seluruh wilayah Nusantra ini dinamakan sastra Nusantra, sedangkan yang dinamakan sastra Indonesia hanyalah sastra yang ditulis dalam bahasa Nasional Indonesia saja.” (Rosidi, 1986).
            Meskipun demikian, fakta menunjukkan bahwa faktor bahasa tidak selamanya dapat dijadikan dasar untuk membedakan sastra yang satu dengan sastra yang lainnya. Ada sastra yang mengikut kepada nama bahasanya, seperti sastra Sansekerta dalam bahasa Sansekerta, sastra Yunani dalam bahasa Yunani. Di sisi lain, ada pula sastra yang mengikut kepada nama bangsanya (kebangsaan pengarangnya), seperti sastra Amerika, satra  Australia, sastra Selandia Baru dll., walaupun ditulis dalam bahasa Inggris. Bahkan ada pula sastra yang mengikut kepada nama bangsa walaupun ditulis dalam beberapa bahasa, sastra India, sastra Pakistan, sastra Filipina dll.
            Khusus untuk penamaan sastra Indonesia ternyata tidaklah sesederhana yang diperkirakan banyak orang selama ini. Faktor latar belakang bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu serta perkembangan kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional dan bahasa Negara telah menimbulkan keragaman pendapat di kalangan para ahli dalam hal menentukan batas perbedaan antara sastra Melayu dan sastra Indonesia dan dalam menentukan batas waktu kapan sastra Indonesia itu lahir. Menurut Abrar Yusra (dalam surat kabar PELITA, 17 Februari 1988), kerumitan dalam hal penemaan sastra Indonesia seperti digambarkan di atas terutama disebabkan oleh adanya kekaburan penafsiran sepatah kata ”Indonesia” itu sendiri. Kata  ”Indonesia” yang semula merupakanrumusan geografis alami yang fisikal, kian bermakna transenden, abstrak dan modern serta kompleks.
            Pada akhirnya yang penting dicatat dari berbagai perbedaan pandangan para ahli selama ini adalah kecenderungan bahwa penamaan sastra Indonesia dapat ditentukan berdasarkan tiga faktor utama, yaitu (1) faktor bahasa, (2) faktor nilai atau semangat kebangsaan/nasionalisme, dan (3) faktor pengarang. Dengan demikian, sastra Indonesia adalah semua karya sastra yang ditulis oleh pengarang (sastrawan) Indonesia yang mengungkapkan nilai-nilai atau semangat nasionalisme Indonesia dengan menggunakan bahasa Indonesia sebagai medium ekspresinya.
Sastra: Cabang Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan
Pada uraian pengertian sastra dari sudut pandang etimologi dan pragmatis di atas ini,  sudah digambarkan secara gamblang tentang sastra sebagai cipta karya bahasa yang indah yang dapat menimbulkan kesenangan dan kegunaan bagi konsumen atau penikmatnya. Dalam pengertiannya yang sedemikian itu sastra ditempatkan sebagai salah satu produk seni. Oleh karena seni atau kesenian merupakan salah satu unsur pokok kebudayaan suatu bangsa, maka secara otomatis sastra juga merupakan cabang kebudayaan.
            Dari segi bentuk atau cara penyampaiannya, karya sastra merupakan seni di bidang bahasa yang dapat dibedakan atas jenis karya sastra prosa fiksi (cerita rekaan), puisi, dan drama. Dalam perkembangan selanjutnya, karya seni sastra ini, terutama drama, telah pula dikembangkan sebagai seni pertunjukan. Dari segi kualitas isi dan bahasanya, dibedakan pula atas sastra serius dan sastra komersial.
            Dari segi kandungan isinya, sastra cenderung disejajarkan dengan induk ilmu-ilmu humaniora seperti filsafat dan agama. Budi Darma pernah mengatakan bahwa agama, filsafat, dan sastra memiliki satu tujuan yang sama, yaitu “memanusiakan manusia”. Bahkan dapat pula dikatakan di sini, agama, filsafat, dan sastra memiliki kecenderungan konsep pemakaian bahasa yang sama, yaitu mengutamakan etika dan estetika berbahasa (berkomunikasi).

Friday 27 November 2015

“PUISI & PROSA SERTA UNSURNYA”




“PUISI & PROSA SERTA UNSURNYA”

1.      Pengertian Puisi dan Unsurnya
Secara etimologis, kata puisi dalam bahasa Yunani berasal dari poesis yang artinya berati penciptaan. Dalam bahasa Inggris, padanan kata puisi ini adalah poetry yang erat dengan –poet dan –poem. Mengenai kata poet, Coulter (dalam Tarigan, 1986:4) menjelaskan bahwa kata poet berasal dari Yunani yang berarti membuat atau mencipta. Dalam bahasa Yunani sendiri, kata poet berarti orang yang mencipta melalui imajinasinya, orang yang hampir-hampir menyerupai dewa atau yang amat suka kepada dewa-dewa. Dia adalah orang yang berpenglihatan tajam, orang suci, yang sekaligus merupakan filsuf, negarawan, guru, orang yang dapat menebak kebenaran yang tersembunyi.
Shahnon Ahmad (dalam Pradopo, 1993:6) mengumpulkan definisi puisi yang pada umumnya dikemukakan oleh para penyair romantik Inggris sebagai berikut.
(1)   Samuel Taylor Coleridge mengemukakan puisi itu adalah kata-kata yang terindah dalam susunan terindah. Penyair memilih kata-kata yang setepatnya dan disusun secara sebaik-baiknya, misalnya seimbang, simetris, antara satu unsur dengan unsur lain sangat erat berhubungannya, dan sebagainya.
(2)   Carlyle mengatakan bahwa puisi merupakan pemikiran yang bersifat musikal. Penyair menciptakan puisi itu memikirkan bunyi-bunyi yang merdu seperti musik dalam puisinya, kata-kata disusun begitu rupa hingga yang menonjol adalah rangkaian bunyinya yang merdu seperti musik, yaitu dengan mempergunakan orkestra bunyi.
(3)   Wordsworth mempunyai gagasan bahwa puisi adalah pernyataan perasaan yang imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan atau diangankan. Adapun Auden mengemukakan bahwa puisi itu lebih merupakan pernyataan perasaan yang bercampur-baur.
(4)   Dunton berpendapat bahwa sebenarnya puisi itu merupakan pemikiran manusia secara konkret dan artistik dalam bahasa emosional serta berirama. Misalnya, dengan kiasan, dengan citra-citra, dan disusun secara artistik (misalnya selaras, simetris, pemilihan kata-katanya tepat, dan sebagainya), dan bahasanya penuh perasaan, serta berirama seperti musik (pergantian bunyi kata-katanya berturu-turut secara teratur).
(5)   Shelley mengemukakan bahwa puisi adalah rekaman detik-detik yang paling indah dalam hidup. Misalnya saja peristiwa-peristiwa yang sangat mengesankan dan menimbulkan keharuan yang kuat seperti kebahagiaan, kegembiraan yang memuncak, percintaan, bahkan kesedihan karena kematian orang yang sangat dicintai. Semuanya merupakan detik-detik yang paling indah untuk direkam.

Dari definisi-definisi di atas memang seolah terdapat perbedaan pemikiran, namun tetap terdapat benang merah. Shahnon Ahmad (dalam Pradopo, 1993:7) menyimpulkan bahwa pengertian puisi di atas terdapat garis-garis besar tentang puisi itu sebenarnya. Unsur-unsur itu berupa emosi, imajinas, pemikiran, ide, nada, irama, kesan pancaindera, susunan kata, kata kiasan, kepadatan, dan perasaan yang bercampur-baur.
Unsur-unsur Puisi
Berikut ini merupakan beberapa pendapat mengenai unsur-unsur puisi.
(1)   Richards (dalam Tarigan, 1986) mengatakan bahwa unsur puisi terdiri dari (1) hakikat puisi yang melipuiti tema (sense), rasa (feeling), amanat (intention), nada (tone), serta (2) metode puisi yang meliputi diksi, imajeri, kata nyata, majas, ritme, dan rima.
(2)   Waluyo (1987) yang mengatakan bahwa dalam puisi terdapat struktur fisik atau yang disebut pula sebagai struktur kebahasaan dan struktur batin puisi yang berupa ungkapan batin pengarang.
(3)   Altenberg dan Lewis (dalam Badrun, 1989:6), meskipun tidak menyatakan secara jelas tentang unsur-unsur puisi, namun dari outline buku mereka bisa dilihat adanya (1) sifat puisi, (2) bahasa puisi: diksi, imajeri, bahasa kiasan, sarana retorika, (3) bentuk: nilai bunyi, verifikasi, bentuk, dan makna, (4) isi: narasi, emosi, dan tema.
(4)   Dick Hartoko (dalam Waluyo, 1987:27) menyebut adanya unsur penting dalam puisi, yaitu unsur tematik atau unsur semantik puisi dan unsur sintaksis puisi. Unsur tematik puisi lebih menunjuk ke arah struktur batin puisi, unsur sintaksis menunjuk ke arah struktur fisik puisi.
(5)   Meyer menyebutkan unsur puisi meliputi (1) diksi, (2) imajeri, (3) bahasa kiasan, (4) simbol, (5) bunyi, (6) ritme, (7) bentuk (Badrun, 1989:6).
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur puisi meliputi (1) tema, (2) nada, (3) rasa, (4) amanat, (5) diksi, (6) imaji, (7) bahasa figuratif, (8) kata konkret, (9) ritme dan rima. Unsur-unsur puisi ini, menurut pendapat Richards dan Waluyo dapat dipilah menjadi dua struktur, yaitu struktur batin puisi (tema, nada, rasa, dan amanat) dan struktur fisik puisi (diksi, imajeri, bahasa figuratif, kata konkret, ritme, dan rima). Djojosuroto (2004:35) menggambarkan sebagai berikut.
Gambar 1. Puisi sebagai struktur
Berdasarkan pendapat Richards, Siswanto dan Roekhan (1991:55-65) menjelaskan unsur-unsur puisi sebagai berikut.

Struktur Fisik Puisi
Adapun struktur fisik puisi dijelaskan sebagai berikut.
(1)   Perwajahan puisi (tipografi), yaitu bentuk puisi seperti halaman yang tidak dipenuhi kata-kata, tepi kanan-kiri, pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang tidak selalu dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Hal-hal tersebut sangat menentukan pemaknaan terhadap puisi.
(2)   Diksi, yaitu pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya. Karena puisi adalah bentuk karya sastra yang sedikit kata-kata dapat mengungkapkan banyak hal, maka kata-katanya harus dipilih secermat mungkin. Pemilihan kata-kata dalam puisi erat kaitannya dengan makna, keselarasan bunyi, dan urutan kata. Geoffrey (dalam Waluyo, 19987:68-69) menjelaskan bahwa bahasa puisi mengalami 9 (sembilan) aspek penyimpangan, yaitu penyimpangan leksikal, penyimpangan semantis, penyimpangan fonologis, penyimpangan sintaksis, penggunaan dialek, penggunaan register (ragam bahasa tertentu oleh kelompok/profesi tertentu), penyimpangan historis (penggunaan kata-kata kuno), dan penyimpangan grafologis (penggunaan kapital hingga titik)
(3)   Imaji, yaitu kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman indrawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Imaji dapat dibagi menjadi tiga, yaitu imaji suara (auditif), imaji penglihatan (visual), dan imaji raba atau sentuh (imaji taktil). Imaji dapat mengakibatkan pembaca seakan-akan melihat, medengar, dan merasakan seperti apa yang dialami penyair.
(4)   Kata kongkret, yaitu kata yang dapat ditangkap dengan indera yang memungkinkan munculnya imaji. Kata-kata ini berhubungan dengan kiasan atau lambang. Misal kata kongkret “salju: melambangkan kebekuan cinta, kehampaan hidup, dll., sedangkan kata kongkret “rawa-rawa” dapat melambangkan tempat kotor, tempat hidup, bumi, kehidupan, dll.
(5)   Bahasa figuratif, yaitu bahasa berkias yang dapat menghidupkan/meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi tertentu (Soedjito, 1986:128). Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi prismatis, artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan makna (Waluyo, 1987:83). Bahasa figuratif disebut juga majas. Adapaun macam-amcam majas antara lain metafora, simile, personifikasi, litotes, ironi, sinekdoke, eufemisme, repetisi, anafora, pleonasme, antitesis, alusio, klimaks, antiklimaks, satire, pars pro toto, totem pro parte, hingga paradoks.
(6)   Versifikasi, yaitu menyangkut rima, ritme, dan metrum. Rima adalah persamaan bunyi pada puisi, baik di awal, tengah, dan akhir baris puisi. Rima mencakup (1) onomatope (tiruan terhadap bunyi, misal /ng/ yang memberikan efek magis pada puisi Sutadji C.B.), (2) bentuk intern pola bunyi (aliterasi, asonansi, persamaan akhir, persamaan awal, sajak berselang, sajak berparuh, sajak penuh, repetisi bunyi [kata], dan sebagainya [Waluyo, 187:92]), dan (3) pengulangan kata/ungkapan. Ritma merupakan tinggi rendah, panjang pendek, keras lemahnya bunyi. Ritma sangat menonjol dalam pembacaan puisi.

Struktur Batin Puisi
Adapun struktur batin puisi akan dijelaskan sebagai berikut.
(1)   Tema/makna (sense); media puisi adalah bahasa. Tataran bahasa adalah hubungan tanda dengan makna, maka puisi harus bermakna, baik makna tiap kata, baris, bait, maupun makna keseluruhan.
(2)   Rasa (feeling), yaitu sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat dalam puisinya. Pengungkapan tema dan rasa erat kaitannya dengan latar belakang sosial dan psikologi penyair, misalnya latar belakang pendidikan, agama, jenis kelamin, kelas sosial, kedudukan dalam masyarakat, usia, pengalaman sosiologis dan psikologis, dan pengetahuan. Kedalaman pengungkapan tema dan ketepatan dalam menyikapi suatu masalah tidak bergantung pada kemampuan penyairmemilih kata-kata, rima, gaya bahasa, dan bentuk puisi saja, tetapi lebih banyak bergantung pada wawasan, pengetahuan, pengalaman, dan kepribadian yang terbentuk oleh latar belakang sosiologis dan psikologisnya.
(3)   Nada (tone), yaitu sikap penyair terhadap pembacanya. Nada juga berhubungan dengan tema dan rasa. Penyair dapat menyampaikan tema dengan nada menggurui, mendikte, bekerja sama dengan pembaca untuk memecahkan masalah, menyerahkan masalah begitu saja kepada pembaca, dengan nada sombong, menganggap bodoh dan rendah pembaca, dll.
(4)   Amanat/tujuan/maksud (itention); sadar maupun tidak, ada tujuan yang mendorong penyair menciptakan puisi. Tujuan tersebut bisa dicari  sebelum penyair menciptakan puisi, maupun dapat ditemui dalam puisinya.

2.       Pengertian Prosa dan Unsurnya
Prosa adalah karangan bebas (tidak teriat oleh peraturan yang terdapat dalam puisi). Jenis prosa yang populer adalah novel dan cerpen. Novel adalah karangan prosa yang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku. Adapun cerpen hanya menceritakan cerita seorang atau beberaa orang tokoh dalam sau situasi dan suatu saat.
Unsur Pembangun Prosa.Unsur pembangun prosa terdiri atas unsur intrinsik, (tokoh, penokohan, alur, latar, sudut pandang, gaya bahasa dan tema) dan unsur ekstrinsik (sikap atau amanat yang ingin disampaikan oleh pengarang).
a. Unsur Intrinsik
1) Tokoh dan Penokohan
Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa di dalam cerita. Penokohan adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tohoh di dalam cerita. Berkaita dengan tokoh, dikenal tokoh utama dan tokoh bawahan. Tokoh utama adalah tokoh yang senantiasa ada dalam setiap peristiwa, banyak berhubungan dengan tokoh lain dan palig banyak terlibat dengan tema cerita. Adapun tokoh bawahan adalah tokoh yang menjadi pelengkap dalam cerita.
2) Latar
Latar adalah unsur dalam suatu cerita yang menunjukkan dimana, bagaimana dan kapan peristiwa-peristiwa dalam cerita itu berlangsung. Latar ada tiga macam, yaitu: latar geografis, latar waktu dan latar sosial. Latar geografis adalah hal-hal yang berkaitan dengan tempat kejadian dalam cerita. Latar waktu adalah hal-hal yang berkaitan dengan masalah-masalah historis. Sedangkan latar sosial adalah latar yang berhubungan dengan kehidupan kemasyarakatan.
3) Alur 
Alur adalah unsur yang berwujud jalinan peristiwa, yang memperlihatkan kepaduan (koherensi) tertentu yang diwujudkan oleh hubungan sebab-akibat, tokoh, tema atau ketiganya.
4) Sudut Pandang
Sudut pandang dapat diartikan sebagai posisi pengarang terhadap peristiwa-peristiwa di dalam cerita. Ada empat tipe sudut pandang, yaitu: sudut pandang orang pertama sentral, sudut pandang orang pertama sebagai pembantu, sudut pandang orang ketiga serba tahu dan sudut pandang orang ketiga terbatas.
Cerita dikategorikan menggunakan sudut pandang orang pertama sentral apabila dalam tokoh sentralnya adalah pengarang yag secara langsung terlibat di dalam cerita. Sudut pandang orang pertama sebagai pembantu adalah sudut pandang yang menampilkan "aku" hanya menjadi pembantu yang mengantarkan tokoh lain yang lebih penting.
Sudut pandang orang ketiga serba tahu, yaitu pengarang berada di luar cerita dan menjadi pengamat yang tahu segalanya, bahkan berdialog langsung dengan pembacanya. Sudut pandang orang ketiga terbatas ialah orang ketiga menjadi pencerita yang terbatas hak ceritanya. Ia hanya menceritakan apa yang dialami tokoh yang menjadi tumpuan cerita.
5) Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah cara khas dalam mengungkapkan pikiran atau perasaan melalui bahasa dalam bentuk lisan atau tulisan.
6) Tema
Tema adalah gagasan, ide atau pikiran utama, yang digunakan sebagai dasar dalam menuliskan cerita.
b. Unsur ekstrinsik
- Amanat
Amanat adalah pesan yang igin disampaikan pengarang kepada pembaca melalui cerita yang dibuatnya.




CONTOH LAPORAN PERJALANAN KE GALERI LUKISAN

LAPORAN PERJALANAN KE MASJIDI GALERI LUKISAN Laporan: Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Apres...